Sabtu, 04 Februari 2012
Peristiwa-Peristiwa Heroik Setelah Kemerdekaan
Pada
1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari
kemudian, tepatnya, 8 Maret, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa
syarat kepada Jepang. Sejak itu, Indonesia diduduki oleh Jepang.
Tiga
tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah
dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki.
Peristiwa itu terjadi pada 6 dan 9 Agustus 1945. Mengisi kekosongan
tersebut, Indonesia kemudian memproklamirkan kemerdekaannya pada 17
Agustus 1945.
Menyerahnya
Jepang kepada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945 membawa hikmah yang
sangat besar kepada perkembangan bangsa Indonesia sebagai sebuah Negara
yanag berdaulat. “Vacuum of Power”, yaitu kekosongan kekuasaan yang
terjadi di Indonesia dapat dimanfaatkan oleh para “Founding fathers”
untuk memproklamasikan
kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan dilanjutkan dengan upaya
melengkapi kelengkapan Negara melalui sidang PPKI tanggal 18, 19 dan 22
Agustus 1945. Maka lengkap dan sah lah Indonesia sebagai sebuah Negara
berdaulat dengan nama Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan
menyerahnya Jepang terhadap Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945, dan
disusul dengan diproklamarkan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, maka
seharusnya tamatlah kekuasaan Jepang di Indonesia. Akan tetapi setelah
kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti
senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang
memakan korban di banyak daerah.
Berikut
ini adalah daftar-daftar peristiwa heroic yang ada di Indonesia setelah
proklamasi kemerdekaan Indonesia di kumandangkan.
A. Pertempuran Lima Hari di Semarang
Pertempuran
5 Hari atau Pertempuran 5 Hari di Semarang adalah serangkaian
pertempuran antara rakyat Indonesia di Semarang melawan Tentara Jepang.
Pertempuran ini adalah perlawanan terhebat rakyat Indonesia terhadap
Jepang pada masa transisi (bedakan dengan Peristiwa 10 November -
perlawanan terhebat rakyat Indonesia dalam melawan sekutu dan Belanda).
Pertempuran ini dimulai pada tanggal 15 Oktober 1945 (walau kenyataannya
suasana sudah mulai memanas sebelumnya) dan berakhir tanggal 20 Oktober
1945.
Berita
Proklamasi dari Jakarta akhirnya sampai ke Semarang. Seperti kota-kota
lain, di Semarang pun rakyat khususnya pemuda berusaha untuk melucuti
senjata Tentara Jepang Kidobutai yang bermarkas di Jatingaleh. Pada
tanggal 13 Oktober, suasana semakin mencekam, Tentara Jepang semakin
terdesak. Tanggal 14 Oktober, Mayor Kido menolak penyerahan senjata sama
sekali. Para pemuda pun marah dan rakyat mulai bergerak
sendiri-sendiri. Aula Rumah Sakit Purusara dijadikan markas perjuangan.
Para pemuda rumah sakit pun tidak tinggal diam dan ikut aktif dalam
upaya menghadapi Jepang. Sementara itu taktik perjuangan pemuda
menggunakan taktik gerilya.
Setelah
pernyataan Mayor Kido, Pada Minggu, 14 Oktober 1945, pukul 6.30 WIB,
pemuda-pemuda rumah sakit mendapat instruksi untuk mencegat dan
memeriksa mobil Jepang yang lewat di depan RS Purusara. Mereka menyita
sedan milik Kempetai dan merampas senjata mereka. Sore harinya, para
pemuda ikut aktif mencari tentara Jepang dan kemudian menjebloskannya ke
Penjara Bulu. Sekitar pukul 18.00 WIB, pasukan Jepang bersenjata
lengkap melancarkan serangan mendadak sekaligus melucuti delapan anggota
polisi istimewa yang waktu itu sedang menjaga sumber air minum bagi
warga Kota Semarang Reservoir Siranda di Candilama. Kedelapan anggota
Polisi Istimewa itu disiksa dan dibawa ke markas Kidobutai di
Jatingaleh. Sore itu tersiar kabar tentara Jepang menebarkan racun ke
dalam reservoir itu. Rakyat pun menjadi gelisah.
Selepas
Magrib, ada telepon dari pimpinan Rumah Sakit Purusara, yang
memberitahukan agar dr. Kariadi, Kepala Laboratorium Purusara segera
memeriksa Reservoir Siranda karena berita Jepang menebarkan racun itu.
Dokter Kariadi kemudian dengan cepat memutuskan harus segera pergi ke
sana. Suasana sangat berbahaya karena tentara Jepang telah melakukan
serangan di beberapa tempat termasuk di jalan menuju ke Reservoir
Siranda. Isteri dr. Kariadi, drg. Soenarti mencoba mencegah suaminya
pergi mengingat keadaan yang sangat genting itu. Namun dr. Kariadi
berpendapat lain, ia harus menyelidiki kebenaran desas-desus itu karena
menyangkut nyawa ribuan warga Semarang. Akhirnya drg. Soenarti tidak
bisa berbuat apa-apa. Ternyata dalam perjalanan menuju Reservoir Siranda
itu, mobil yang ditumpangi dr. Kariadi dicegat tentara Jepang di Jalan
Pandanaran. Bersama tentara pelajar yang menyopiri mobil yang
ditumpanginya, dr. Kariadi ditembak secara keji. Ia sempat dibawa ke
rumah sakit sekitar pukul 23.30 WIB. Ketika tiba di kamar bedah, keadaan
dr. Kariadi sudah sangat gawat. Nyawa dokter muda itu tidak dapat
diselamatkan. Ia gugur dalam usia 40 tahun satu bulan.
Sekitar
pukul 3.00 WIB, 15 Oktober 1945, Mayor Kido memerintahkan sekitar 1.000
tentaranya untuk melakukan penyerangan ke pusat Kota Semarang.
Sementara itu, berita gugurnya dr. Kariadi yang dengan cepat tersebar,
menyulut kemarahan warga Semarang. Hari berikutnya, pertempuran meluas
ke berbagai penjuru kota. Korban berjatuhan di mana-mana. Pada 17
Oktober 1945, tentara Jepang meminta gencatan senjata, namun diam-diam
mereka melakukan serangan ke berbagai kampung. Pada 19 Oktober 1945,
pertempuran terus terjadi di berbagai penjuru Kota Semarang. Pertempuran
ini berlangsung lima hari dan memakan korban 2.000 orang Indonesia dan
850 orang Jepang. Di antara yang gugur, termasuk dr. Kariadi dan delapan
karyawan RS Purusara.
Berdasarkan kejadiannya, kronologis pertempuran lima hari di Semarang dapat dijabarkan sebagai berikut :
a) 7
Oktober : Pemuda Semarang berusaha melucuti senjata Tentara Jepang di
Jatingaleh. Sementara di saat yang sama, pimpinan Jepang dan pemuda
berunding mengenai penyerahan senjata.
b) 13 Oktober : Suasana semakin menegang dan Jepang semakin terdesak.
c) 14
Oktober : Mayor Kido menolak penyerahan senjata. Pukul 06.30, Aula RS
Purusara dijadikan markas perjuangan dan pemuda mencegat serta memeriksa
mobil Jepang yang lewat. Mereka juga menyita sedan milik Kampetai. Sore
harinya, pemuda menjebloskan Tentara Jepang ke Penjara Bulu namun pukul
18.00 Jepang melancarkan serangan mendadak kepada delapan polisi
istimewa yang menjaga Resevoir Siranda di Candi. Kedelapan Polisi itu
disiksa dan sore itu juga tersiatr kabar kalau Jepang menebar racun
dalam reservoir tersebut. Selepas Maghrib, dr. Kariadi memutuskan untuk
segera memeriksa reservoir itu namun istrinya, drg. Sonarti, mencoba
mencegahnya karena ia berpendapat bahwa suasana sedang sangat berbahaya
namun tidak berhasil. Sayangnya, dalam perjalanan dr. Kariadi dan
beberapa tentara pelajar, mereka ditembak secara keji. Dr. kariadi
sempat dibawa ke rumah sakit sekitar namun tidak dapat diselamatkan.
Selain kejadian di atas, pada hari itu juga terjadi pemberontakan 4.000
tentara Jepang di Cepiring.
d) 15
Oktober: Pukul 03.00, Mayor Kido menyuruh 1.000 tentara untuk melakukan
penyerangan ke pusat kota mendengar berita penangjkapann Jenderal
Nakamura dan berita gugurnya dr. Kariadi menyulut kemarahan warga
Semarang. Di Semarang juga terjadi penangkapan Mr. Wongsonegoro, Dr.
Sukaryo, dan Sudanco Mirza Sidharta.
e) 16 Oktober : Pertempuran terus berlanjut
f) 17 Oktober : Jepang berunding dengan Mr. Wongsonegoro
g) 18
Oktober : Ada perundingan gencatan senjata oleh KAsman Singodimejo dan
Jenderal Nakamura. Dalam perundingan ini, Jepang ingin agar senjata yang
direbut segera dikembalikan bila tidak Jepang akan meloakukan
pengeboman pada tanggal 19 Oktober 1945 pukul 10.00.
h) 19
oktober : Pukul 07.45, kedatangan Sekutu di pelabuhan Semarang dengan
kapal HMS Glenry mempercepat perdamaian antara Jepang dan rakyat
sehingga perang berakhir.
Mengenai pertempuran lima hari di Semarang ini, ada beberapa tokoh yang terlbat adalah sbb :
a) dr.
Kariadi dr. Kariadi adalah dokter yang akan mengecek cadangan air minum
di daerah Candi yang kabarnya telah diracuni oleh Jepang. Beliau juga
merupakan Kepala Laboratorium Dinas Pusat Purusara.
b) Mr. Wongsonegoro Gubernur Jawa Tengah yang sempat ditahan oleh Jepang.
c) Dr. Sukaryo dan Sudanco Mirza Sidharta tokoh Indonesia yang ditangkap oleh Jepang betrsama Mr. Wongsonegoro.
d) Mayor Kido Pimpinan Batalion Kido Butai yang berpusat di Jatingaleh.
e) drg. Soenarti istri dr. kariadi.
f) Kasman Singodimejo perwakilan perundingan gencatan senjata dari Indonesia.
g) Jenderal Nakamura Jenderal yang ditangkap oleh TKR di Magelang
Untuk
memperingati Pertempuran 5 Hari di Semarang, dibangun Tugu Muda sebagai
monumen peringatan. Tugu Muda ini dibangun pada tanggal 10 November
1950. Diresmikan oleh presiden Ir. Soekarno pada tanggal 20 Mei 1953.
Bangunan ini terletak di kawasan yang banyak merekam peristiwa penting
selama lima hari pertempuran di Semarang, yaitu di Jl. Pemuda, Jl. Imam
Bonjol, Jl. Dr. Sutomo, dan Jl. Pandanaran dengan lawang sewu. Selain
pembangunan Tugu Muda, Nama dr. Kariadi diabadikan sebagai nama salah
satu rumah sakit di Semarang
B. Pertempuran Surabaya
Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di Kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.
Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih
dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran
bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks
gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan
bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada sore hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda
(Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di
tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan
harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka
menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak
mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan
pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.
Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Soedirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu,
sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang
melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan
Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan
kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari
gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk
menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk mengakui kedaulatan
Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol,
dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas
dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang
berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Soedirman
dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda
berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono
yang semula bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam
pemanjatan tiang bendera dan bersama Koesno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945
meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris
. Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi
serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak
Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.
Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945,
keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi
bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di
Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak
dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah
Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris
marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti
Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.
Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris (Labour Party). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen Inggris (House of Commons)
meragukan bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia.
Dia menyampaikan bahwa peristiwa baku tembak ini disinyalir kuat timbul
karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang
memulai baku tembak tersebut tidak mengetahui bahwa gencatan senjata
sedang berlaku karena mereka terputus dari kontak dan telekomunikasi.
Brigadir Mallaby keluar dari diskusi (gencatan senjata), berjalan lurus
ke arah kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak kepada
serdadu India untuk menghentikan tembakan. Mereka patuh kepadanya.
Mungkin setengah jam kemudian, massa di alun-alun menjadi bergolak lagi.
Brigadir Mallaby, pada titik tertentu dalam diskusi, memerintahkan
serdadu India untuk menembak lagi. Mereka melepaskan tembakan dengan dua
senapan Bren
dan massa bubar dan lari untuk berlindung; kemudian pecah pertempuran
lagi dengan sungguh gencar. Jelas bahwa ketika Brigadir Mallaby memberi
perintah untuk membuka tembakan lagi, perundingan gencatan senjata
sebenarnya telah pecah, setidaknya secara lokal. Dua puluh menit sampai
setengah jam setelah itu, ia (Mallaby) sayangnya tewas dalam
mobilnya-meskipun (kita) tidak benar-benar yakin apakah ia dibunuh oleh
orang Indonesia yang mendekati mobilnya; yang meledak bersamaan dengan
serangan terhadap dirinya (Mallaby).
Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.
Ultimatum
tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan
rakyat yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan Tentara Keamanan Rakyat
(TKR) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak
organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat,
termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia.
Pada
10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala
besar, yang diawali dengan pengeboman udara ke gedung-gedung
pemerintahan Surabaya, dan kemudian mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang.
Inggris kemudian membombardir kota Surabaya dengan meriam dari laut dan darat.
Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh
kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk. Terlibatnya penduduk
dalam pertempuran ini mengakibatkan setidaknya 6,000 - 16,000 pejuang
dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari
Surabaya. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600 -
2000 tentara. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan
korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh
Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan.
Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada
hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.
C. Pertempuran Ambarawa
Pertempuran
Ambarawa atau yang sering disebut sebagai palagan Ambarawa memang
menarik. Secara singkat, dapat diceritakan bahwa disebut Pertempuran
Ambarawa karena memang terjadinya di kota Ambarawa. Pertempuran itu
sebenarnya sudah diawali sejak Oktober 1945, di mana pada tanggal 20
Oktober 1945 tentara Sekutu mendarat di Semarang di bawah pimpinan
Brigadir Jenderal Bethel
Pada tanggal 20 Oktober 1945,
tentara Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Bethell mendarat di Semarang
dengan maksud mengurus tawanan perang dan tentara Jepang yang berada di
Jawa Tengah. Kedatangan sekutu ini diboncengi oleh NICA. Kedatangan Sekutu ini mulanya disambut baik, bahkan Gubernur Jawa Tengah Mr Wongsonegoro
menyepakati akan menyediakan bahan makanan dan keperluan lain bagi
kelancaran tugas Sekutu, sedang Sekutu berjanji tidak akan mengganggu
kedaulatan Republik Indonesia.
Namun, ketika pasukan Sekutu dan NICA telah sampai di Ambarawa
dan Magelang untuk membebaskan para tawanan tentara Belanda, para
tawanan tersebut malah dipersenjatai sehingga menimbulkan kemarahan
pihak Indonesia. Insiden bersenjata timbul di kota Magelang, hingga terjadi pertempuran. Di Magelang, tentara Sekutu bertindak sebagai penguasa yang mencoba melucuti Tentara Keamanan Rakyat dan membuat kekacauan. TKR Resimen Magelang pimpinan Letkol. M. Sarbini
membalas tindakan tersebut dengan mengepung tentara Sekutu dari segala
penjuru. Namun mereka selamat dari kehancuran berkat campur tangan
Presiden Soekarno
yang berhasil menenangkan suasana. Kemudian pasukan Sekutu secara
diam-diam meninggalkan Kota Magelang menuju ke benteng Ambarawa. Akibat
peristiwa tersebut, Resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan Letkol. M.
Sarbini segera mengadakan pengejaran terhadap mereka. Gerakan mundur
tentara Sekutu tertahan di Desa Jambu karena dihadang oleh pasukan
Angkatan Muda di bawah pimpinan Oni Sastrodihardjo yang diperkuat oleh pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta.
Tentara Sekutu kembali dihadang oleh Batalyon I Soerjosoempeno
di Ngipik. Pada saat pengunduran, tentara Sekutu mencoba menduduki dua
desa di sekitar Ambarawa. Pasukan Indonesia di bawah pimpinan Letkol. Isdiman
berusaha membebaskan kedua desa tersebut, namun ia keburu gugur
terlebih dahulu. Sejak gugurnya Letkol. Isdiman, Komandan Divisi V
Banyumas, Kol. Soedirman
merasa kehilangan seorang perwira terbaiknya dan ia langsung turun ke
lapangan untuk memimpin pertempuran. Kehadiran Kol. Soedirman memberikan
napas baru kepada pasukan-pasukan RI. Koordinasi diadakan di antara
komando-komando sektor dan pengepungan terhadap musuh semakin ketat.
Siasat yang diterapkan adalah serangan pendadakan serentak di semua
sektor. Bala bantuan terus mengalir dari Yogyakarta, Solo, Salatiga, Purwokerto, Magelang, Semarang, dan lain-lain.
Tanggal 23 November 1945
ketika matahari mulai terbit, mulailah tembak-menembak dengan pasukan
Sekutu yang bertahan di kompleks gereja dan kerkhop Belanda di Jl. Margo
Agoeng. Pasukan Indonesia terdiri dari Yon. Imam Adrongi, Yon. Soeharto dan Yon. Soegeng.
Tentara Sekutu mengerahkan tawanan-tawanan Jepang dengan diperkuat
tanknya, menyusup ke tempat kedudukan Indonesia dari arah belakang,
karena itu pasukan Indonesia pindah ke Bedono.
Pada tanggal 11 Desember 1945, Kol. Soedirman mengadakan rapat dengan para Komandan Sektor TKR dan Laskar. Pada tanggal 12 Desember 1945
jam 04.30 pagi, serangan mulai dilancarkan. Pembukaan serangan dimulai
dari tembakan mitraliur terlebih dahulu, kemudian disusul oleh
penembak-penembak karaben. Pertempuran berkobar di Ambarawa. Satu
setengah jam kemudian, jalan raya Semarang-Ambarawa dikuasai oleh
kesatuan-kesatuan TKR. Pertempuran Ambarawa berlangsung sengit. Kol.
Soedirman langsung memimpin pasukannya yang menggunakan taktik gelar supit urang,
atau pengepungan rangkap dari kedua sisi sehingga musuh benar-benar
terkurung. Suplai dan komunikasi dengan pasukan induknya diputus sama
sekali. Setelah bertempur selama 4 hari, pada tanggal 15 Desember 1945 pertempuran berakhir dan Indonesia berhasil merebut Ambarawa dan Sekutu dibuat mundur ke Semarang.
Kemenangan pertempuran ini kini diabadikan dengan didirikannya Monumen Palagan Ambarawa dan diperingatinya Hari Jadi TNI Angkatan Darat atau Hari Juang Kartika.
D. Pertempuran Medan Area
Pada
tanggal 24 Agustus 1945, antara pemerintah Kerajaan Inggris dan
Kerajaan Belanda tercapai suatu persetujuan yang terkenal dengan nama
civil Affairs Agreement. Dalam persetujuan ini disebutkan bahwa panglima
tentara pendudukan Inggris di Indonesia akan memegang kekuasaan atas
nama pemerintah Belanda.
Dalam
melaksanakan hal-hal yang berkenaan dengan pemerintah sipil,
pelaksanaannya diselenggarakan oleh NICA dibawah tanggungjawab komando
Inggris. Kekuasaan itu kelak di kemudian hari akan dikembalikan kepada
Belanda. Inggris dan Belanda membangun rencana untuk memasuki berbagai
kota strategis di Indonesia yang baru saja merdeka. Salah satu kota yang
akan didatangi Inggris dengan “menyelundupkan” NICA Belanda adalah
Medan.
Sementara
di tempat lain pada tanggal 27 Agustus 1945 rakyat Medan baru mendengar
berita proklamasi yang dibawa oleh Mr. Teuku Moh Hassan sebagai
Gubernur Sumatera. Mengggapi berita proklamasi para pemuda dibawah
pimpinan Achmad lahir membentuk barisan Pemuda Indonesia.
Pada
tanggal 9 Oktober 1945 rencana dalam Civil Affairs Agreement
benar-benar dilaksanakan. Tentara Inggris yang diboncengi oleh NICA
mendarat di Medan. Mereka dipimpin oleh Brigjen T.E.D Kelly.
Awalnya
mereka diterima secara baik oleh pemerintah RI di Sumatra Utara
sehubungan dengan tugasnya untuk membebaskan tawanan perang (tentara
Belanda). Sebuah insiden terjadi di hotel Jalan Bali, Medan pada tanggal
13 Oktober 1945.
Saat
itu seorang penghuni hotel (pasukan NICA) merampas dan menginjak-injak
lencana Merah Putih yang dipakai pemuda Indonesia. Hal ini mengundang
kemarahan para pemuda. Akibatnya terjadi perusakan dan penyerangan
terhadap hotel yang banyak dihuni pasukan NICA. Pada tanggal 1 Desember
1945, pihak Sekutu memasang papan-papan yang bertuliskan Fixed
Boundaries Medan Area di berbagai sudut kota Medan.
Sejak
saat itulah Medan Area menjadi terkenal. Pasukan Inggris dan NICA
mengadakan pembersihan terhadap unsur Republik yang berada di kota
Medan. Hal ini jelas menimbulkan reaksi para pemuda dan TKR untuk
melawan kekuatan asing yang mencoba berkuasa kembali. Pada tanggal 10
Agustus 1946 di Tebingtinggi diadakan pertemuan antara komandan-komandan
pasukan yang berjuang di Medan Area. Pertemuan tersebut memutuskan
dibentuknya satu komando yang bernama Komando Resimen Laskar Rakyat
Medan Area.
Pada
tanggal 10 desember 1945, Sekutu dan NICA melancarkan serangan
besar-besaran terhadap kota Medan. Serangan ini menimbulkan banyak
koraban di kedua belah pihak. Pada bulan April 1946, Sekutu berhasil
menduduki kota Medan. Pusat perjuangan rakyat Medan kemudian dipindahkan
ke Pemantangsiantar.
Untuk
melanjutkan perjuangan di Medan maka pada bulan Agustus 1946 dibentuk
Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area. Komandan initerus mengadakan
serangan terhadap Sekutu diwilayah Medan. Hampir di seluruh wilayah
Sumatera terjadi perlawanan rakayat terhadap Jepang, Sekutu, dan
Belanda. Pertempuran itu terjadi, antara lian di Pandang, Bukit tinggi
dan Aceh.
E. Bandung Lautan Api
Peristiwa Bandung Lautan Api adalah peristiwa kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung, provinsi Jawa Barat, Indonesia pada 24 Maret 1946. Dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk Bandung[1] membakar rumah mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda untuk dapat menggunakan kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.
Pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945.
Sejak semula hubungan mereka dengan pemerintah RI sudah tegang. Mereka
menuntut agar semua senjata api yang ada di tangan penduduk, kecuali TKR
dan polisi,
diserahkan kepada mereka. Orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari
kamp tawanan mulai melakukan tindakan-tindakan yang mulai menganggu
keamanan. Akibatnya, bentrokan bersenjata antara Inggris dan TKR tidak
dapat dihindari. Malam tanggal 24 November 1945, TKR dan badan-badan perjuangan melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Homann dan Hotel Preanger
yang mereka gunakan sebagai markas. Tiga hari kemudian, MacDonald
menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar Bandung Utara
dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata.
Ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara Republik Indonesia (TRI, TNI kala itu) meninggalkan kota Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi "bumihangus". Para pejuang pihak Republik Indonesia tidak rela bila Kota Bandung dimanfaatkan oleh pihak Sekutu dan NICA. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, pada tanggal 24 Maret 1946[2]. Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III TRI mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan evakuasi Kota Bandung.[rujukan?]
Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang
meninggalkan kota Bandung dan malam itu pembakaran kota berlangsung.
Bandung
sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat setempat dengan maksud agar Sekutu
tidak dapat menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Di
mana-mana asap hitam mengepul membubung tinggi di udara dan semua
listrik mati. Tentara Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran
sengit terjadi. Pertempuran yang paling besar terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat gudang amunisi besar milik Tentara Sekutu. Dalam pertempuran ini Muhammad Toha dan Ramdan,
dua anggota milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia) terjun dalam misi
untuk menghancurkan gudang amunisi tersebut. Muhammad Toha berhasil
meledakkan gudang tersebut dengan dinamit.
Gudang besar itu meledak dan terbakar bersama kedua milisi tersebut di
dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal
di dalam kota, tetapi demi keselamatan mereka, maka pada pukul 21.00
itu juga ikut dalam rombongan yang mengevakuasi dari Bandung. Sejak saat
itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari
penduduk dan TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota, sehingga
Bandung pun menjadi lautan api.
Pembumihangusan Bandung tersebut dianggap merupakan strategi yang tepat dalam Perang Kemerdekaan Indonesia
karena kekuatan TRI dan milisi rakyat tidak sebanding dengan kekuatan
pihak Sekutu dan NICA yang berjumlah besar. Setelah peristiwa tersebut,
TRI bersama milisi rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar
Bandung. Peristiwa ini mengilhami lagu Halo, Halo Bandung yang nama penciptanya masih menjadi bahan perdebatan.
Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo, Halo Bandung"
secara resmi ditulis, menjadi kenangan akan emosi yang para pejuang
kemerdekaan Republik Indonesia alami saat itu, menunggu untuk kembali ke
kota tercinta mereka yang telah menjadi lautan api.
Latar belakang Bandung Lautan Api, antara lain :
a) Pasukan sekutu Inggris memasuki kota Bandung dan sikap pasukan NICA yang merajalela dengan aksi terornya.
b) Perundingan antara pihak RI dengan Sekutu/NICA, dimana Bandung dibagi dua bagian.
c) Bendungan sungai Cikapundung yang jebol dan menyebabkan banjir besar dalam kota.
d) Keinginan sektu yang menuntut pengosongan sejauh 11km dari Bandung Utara.
F. Pertempuran Margarana
Latar
belakang munculnya puputan Margarana atau pertempuran Margarana sendiri
bermula dari Perundingan Linggarjati. Pada tanggal 10 November 1946,
Belanda melakukan perundingan linggarjati dengan pemerintah Indonesia.
Salah satu isi dari perundingan Linggajati adalah Belanda mengakui
secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang
meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Selanjutnya Belanda diharuskan
sudah meninggalkan daerah de facto paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
Pada tanggal 2 dan 3 Maret 1949 Belanda mendaratkan pasukannya kurang
lebih 2000 tentara di Bali yang diikuti oleh tokoh-tokoh yang memihak
Belanda. Tujuan dari pendaratan Belanda ke Bali sendiri adalah untuk
menegakkan berdirinya Negara Indonesia Timur. Pada waktu itu Letnan
Kolonel I Gusti Ngurah Rai yang menjabat sebagai Komandan Resiman Nusa
Tenggara sedang pergi ke Yogyakarta untuk mengadakan konsultasi dengan
Markas tertinggi TRI, sehingga dia tidak mengetahui tentang pendaratan
Belanda tersebut.
Di
saat pasukan Belanda sudah berhasil mendarat di Bali, perkembangan
politik di pusat Pemerintahan Republik Indonesia kurang menguntungkan
akibat perundingan Linggajati, di mana pulau Bali tidak diakui sebagai
bagian wilayah Republik Indonesia. Pada umumnya Rakyat Bali sendiri
merasa kecewa terhadap isi perundingan tersebut karena mereka merasa
berhak masuk menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Terlebih lagi ketika Belanda berusaha membujuk Letnan Kolonel I
Gusti Ngurah Rai untuk diajak membentuk Negara Indonesia Timur. Untung
saja ajakan tersebut ditolak dengan tegas oleh I Gusti Ngurah Rai,
bahkan dijawab dengan perlawanan bersenjata Pada tanggal 18 November
1946. Pada saat itu I Gusti Ngurah Rai bersama pasukannya Ciung Wanara
Berhasil memperoleh kemenangan dalam penyerbuan ke tangsi NICA di
Tabanan. Karena geram, kemudian Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya
di Bali dan Lombok untuk menghadapi perlawanan I Gusti Ngurah Rai dan
Rakyat Bali. Selain merasa geram terhadap kekalahan pada pertempuran
pertama, ternyata pasukan Belanda juga kesal karena adanya konsolidasi
dan pemusatan pasukan Ngurah Rai yang ditempatkan di Desa Adeng,
Kecamatan Marga, Tabanan, Bali. Setelah berhasil mengumpulkan pasukannya
dari Bali dan Lombok, kemudian Belanda berusaha mencari pusat kedudukan
pasukan Ciung Wanara.
Pada
tanggal 20 November 1946 I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya (Ciung
Wanara), melakukan longmarch ke Gunung Agung, ujung timur Pulau Bali.
Tetapi tiba-tiba di tengah perjalanan, pasukan ini dicegat oleh serdadu
Belanda di Desa Marga, Tabanan, Bali.
Tak
pelak, pertempuran sengit pun tidak dapat diindahkan. Sehingga sontak
daerah Marga yang saat itu masih dikelilingi ladang jagung yang tenang,
berubah menjadi pertempuran yang menggemparkan dan mendebarkan bagi
warga sekitar. Bunyi letupan senjata tiba-tiba serentak mengepung ladang
jagung di daerah perbukitan yang terletak sekitar 40 kilometer dari
Denpasar itu.
Pasukan
pemuda Ciung Wanara yang saat itu masih belum siap dengan
persenjataannya, tidak terlalu terburu-buru menyerang serdadu Belanda.
Mereka masih berfokus dengan pertahanannya dan menunggu komando dari I
Gusti Ngoerah Rai untuk membalas serangan. Begitu tembakan tanda
menyerang diletuskan, puluhan pemuda menyeruak dari ladang jagung dan
membalas sergapan tentara Indische Civil Administration (NICA) bentukan
Belanda. Dengan senjata rampasan, akhirnya Ciung Wanara berhasil memukul
mundur serdadu Belanda.
Namun
ternyata pertempuran belum usai. Kali ini serdadu Belanda yang sudah
terpancing emosi berubah menjadi semakin brutal. Kali ini, bukan hanya
letupan senjata yang terdengar, namun NICA menggempur pasukan muda I
Gusti Ngoerah Rai ini dengan bom dari pesawat udara. Hamparan sawah dan
ladang jagung yang subur itu kini menjadi ladang pembantaian penuh asap
dan darah.
Perang
sampai habis atau puputan inilah yang kemudian mengakhiri hidup I Gusti
Ngurah Rai. Peristiwa inilah yang kemudian dicatat sebagai peristiwa
Puputan Margarana. Malam itu pada 20 November 1946 di Marga adalah
sejarah penting tonggak perjuangan rakyat di Indonesia melawan kolonial
Belanda demi Nusa dan Bangsa.
G. Pertempuran Laut Aru
Pertempuran Laut Aru adalah suatu pertempuran yang terjadi di Laut Aru, Maluku, pada tanggal 15 Januari 1962 antara Indonesia dan Belanda. Insiden ini terjadi sewaktu dua kapal jenis destroyer, pesawat jenis Neptune dan Frely milik Belanda menyerang RI Matjan Tutul (650), RI Matjan Kumbang (653) dan RI Harimau (654) milik Indonesia yang sedang berpatroli pada posisi 04,49° LS dan 135,02° BT. Komodor Yos Sudarso gugur pada pertempuran ini setelah menyerukan pesan terakhirnya yang terkenal, "Kobarkan semangat pertempuran".
Peristiwa
Aru bermula dari suatu operasi rahasia untuk menyusupkan sukarelawan
suku Irian yang telah dilatih oleh TNI-AD ke Irian Barat. Komando
Trikora memang sudah terbentuk, namun misi tersebut dilaksanakan bukan
dalam konteks operasi gabungan. Komando berdiri sendiri sebagai task
force dengan misi tertentu.
Hampir
semua kekuatan yang akan dilibatkan dalam Operasi Trikora belum siap.
Bahkan semua kekuatan udara masih stand by di Jawa. Namun ternyata
Angkatan Darat telah mendahului dengan melakukan penyusupan sukarelawan.
Untuk melaksanakan misi itu, AD minta bantuan ALRI untuk mengangkut
pasukan dari Jakarta menuju pantai Irian. Sedangkan AURI hanya diminta
mengerahkan dua pesawat Hercules untuk mengangkut pasukan dari Jakarta
menuju target yang nantinya ditentukan oleh ALRI.
Karena
misi itu sangat rahasia, di Mabes AURI hanya beberapa petinggi yang
mengetahui. Walaupun nyatanya tidak rumit, hanya mengangkut pasukan ke
sebuah pangkalan di dalam negeri dengan terbang rendah. Batas tugas AURI
hanya memindahkan pasukan dengan Hercules, selebihnya tidak menjadi
tanggung jawab Mabes AURI.
Pada
12 Januari 1962, pasukan berhasil didaratkan di Letfuan. Kedua Hercules
kembali ke pangkalan, dan AURI pun menjalankan tugas rutinnya. Namun
tanggal 18 Januari muncul situasi yang kurang mengenakkan, saat ada
pimpinan angkatan lain melapor ke Bung Karno bahwa tiadanya perlindungan
dari AURI telah menyebabkan sebuah operasi gagal. Sampai saat itu pihak
AURI belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Ternyata
pada 15 Januari telah terjadi kontak senjata antara armada ALRI dengan
AL Belanda di Laut Aru yang menyebabkan gugurnya Komodor Yos Sudarso dan
prajurit-prajurit ALRI lainnya. Kalau dikatakan AURI tidak melindungi
kapal beserta para prajurit ALRI, bukankah tugas AURI hanya mengangkut
pasukan dengan dua Hercules dalam operasi penyusupan ke Irian?
Tidak
ada kesalahan dalam peristiwa itu, namun AURI disalahkan. Padahal
mereka yang tahu rumitnya mengkoordinasikan operasi udara, apalagi
dengan pengeboman untuk melindungi kapal perang, pasti akan berpikir
seratus kali lipat untuk menudingkan kesalahan seperti itu. Tapi
begitulah. Orang yang tidak tahu, dan tidak mau tahu, telah menudingkan
kesalahan – dan pemegang kekuasaan tertinggi pun membenarkan.
Hari
H untuk pelaksanaan operasi penyusupan adalah Senin, 15 Januari 1962.
Pada H minus tiga (-3), semua kapal ALRI telah merapat di rendezvous
point di sebuah pulau di Kepulauan Aru. Pasukan yang sudah diturunkan
dari Hercules AURI juga sudah diangkut kapal dari Letfuan menuju pulau
tersebut. Pada hari pertama di titik itu, pesawat-pesawat Belanda sudah
datang mengintai. Hal yang sama terjadi pada H -2 dan H -1.
Hari
H pukul 17.00 waktu setempat, tiga kapal mulai bergerak. KRI Harimau
berada di depan, membawa antara lain Kol. Sudomo, Kol. Mursyid, dan
Kapten Tondomulyo. Di belakangnya adalah KRI Macan Tutul yang dinaiki
Komodor Yos Sudarso. Sedangkan di belakang adalah KRI Macan Kumbang.
Menjelang
pukul 21.00, Kol. Mursyid melihat radar blips pada lintasan depan yang
akan dilewati iringan tiga kapal itu. Dua di sebelah kanan dan satu di
kiri. Blips tersebut tidak bergerak, menandakan kapal-kapal sedang
berhenti. Ketiga KRI kemudian melaju. Tiba-tiba terdengar dengung
pesawat mendekat, lalu menjatuhkan flare yang tergantung pada parasut.
Keadaan tiba-tiba menjadi terang-benderang, dalam waktu cukup lama. Tiga
kapal Belanda yang berukuran lebih besar ternyata sudah menunggu
kedatangan ketiga KRI. Kapal Belanda melepaskan tembakan peringatan yang
jatuh di samping KRI Harimau. Kol. Sudomo memerintahkan untuk balas
menembak namun tidak mengenai sasaran. Komodor Yos Sudarso memerintahkan
ketiga KRI untuk kembali. Ketiga kapal pun serentak membelok 180o.
Naas, KRI Macan Tutul macet dan terus membelok ke kanan. Kapal-kapal
Belanda mengira manuver berputar itu untuk menyerang mereka. Sehingga
mereka langsung menembaki kapal itu. Tembakan pertama meleset, namun
tembakan kedua tepat mengenai KRI Macan Tutul. Menjelang tembakan telak
menghantam kapal, Komodor Yos Sudarso meneriakkan perintah, “Kobarkan
semangat pertempuran!”
AURI
berada dalam kondisi ditekan karena misi yang gagal itu. Orang mengira,
kekuatan AURI mampu melayang-layang selamanya di udara dan mengawasi
setiap jengkal wilayah RI. Negara superpower seperti AS pun tidak akan
bisa melakukannya di era itu, apalagi kita. Bagaimana pesawat terbang
melaksanakan misi bantuan serangan udara tanpa ada koordinasi
sebelumnya? Bahkan operasi itu sendiri tidak pernah dibicarakan dengan
pimpinan AURI. Namun saat gagal, kesalahan ditimpakan ke pihak AURI.
Untuk mengakhiri polemik, KSAU Suryadarma mengundurkan diri pada 19
Januari 1962. AURI pun berduka cita.
Hari
Sabtu, 20 Januari 1962, diadakan rapat di Istana Bogor yang dipimpin
oleh Bung Karno, untuk mengangkat Laksamana Muda Omar Dhani sebagai KSAU
yang baru. Setelah itu langsung diadakan brifing mengenai peristiwa
Aru. Kolonel Mursyid sebagai komandan tim juga sudah kembali untuk
memberikan paparan. Begitu paparan selesai, suasana di ruang rapat yang
terletak di sayap kiri Istana Bogor itu jadi mencekam, serius, sepi, dan
semua diam. Seakan-akan menikmati rasa kemenangan dan kepahlawanan. Yos
Sudarso gugur, operasi gagal, namun dinilai heroik.
Peristiwa
Aru kemudian berlalu begitu saja. Sampai saatnya nanti orang bisa
menilai, pengorbanan batin para pimpinan AURI di masa itu adalah wujud
nyata sikap tertinggi dalam disiplin prajurit, yaitu loyalitas.
H. Tindakan Heroik Di Yogyakarta
Pada
tanggal 26 September 1945 terjadi perebutan kekuasaan dan para pegawai
negeri semua mogok karena peristiwa ini. Sejak pukul 10.00, mereka mogok
bekerja dan memaksa Jepang untuk menyerahkan semua kantor Jepang ke
Indonesia. Diperkuat oleh pengumuman oleh KNI DI Yogyakarta pada 26
September 1945 bahwa kekuasaan di daerah itu sekarang berada di tangan
pemerintah RI. Kemudian terjadilah demo dan para pemuda berusaha untuk
merebut senjata dan peralatan perang, sedapat mungkin tanpa melalui
jalan kekerasan. Tapi karena usaha perundingan gagal, pada 1 Oktober
malam, para pemuda, BKR dan kepolisian menyerbu Tansi Otsuka Butai yang berada di kota baru. Malam itu juga Otsuka Butai menyerah setelah 18 orang pemuda polisi gugur.
Serangan Umum 1 Maret 1949 dilakukan terhadap kota Yogyakarta
secara secara besar-besaran yang direncanakan dan dipersiapkan oleh
jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan
mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat
berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman,
untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI - berarti juga
Republik Indonesia - masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian
dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang
berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan tujuan utama untuk mematahkan
moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai komandan brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.
I. Peristiwa 11 Nopember 1946 di Sulawesi Selatan
Pada
saat Belanda (Mayjend Van Mook) sedang mengadakan Konferensi Denpasar
dalam rangka pembentukan negara Indonesia Timur dan negara-negara boneka
lainnya, pada tanggal 11 Desember 1946 Belanda mengumumkan bahwa
Sulawesi berada dalam status darurat perang dan hukum militer (akibat
dari penolakan rakyat terhadap rencana (pembentukan Negara Indonesia
Timur). Rakyat Sulawesi Selatan yang diangap menolak atau tidak
setuju/menentang rencana tersebut dibantai habis oleh pasukan Belanda
pimpinan Raymond Westerling yang mengakibatkan lebih dari 40.000 jiwa
rakyat Sulawesi meninggal. Robert Wolter Monginsidi dan Andi Matalatta
yang memimpin pasukan untuk melawan kebiadaban Belanda akhirnya
tertangkap dan dijatuhi hukuman mati.
J. Tindakan Heroik Di Aceh
Di
Aceh terjadi sebuah pertempuran besar. Pertempuran tersebut terjadi
karena pembentukan Organisasi yang dibentuk oleh para pemuda pada
tanggal 6 oktober 1945 yang diberi nama Angkatan Pemuda Indonesia (API),
namun seminggu berdirinya organisasi tersebut kemudian jepang melarang
berdirinya Organisasi tersebut. Walaupun dipakasa untuk membubarkan API,
tapi para pemuda menolak dengan keras dan timbullah pertempuran. Para
pemuda melucuti senjata Jepang. Selain itu, para pemuda juga mengambil
alih kantor-kantor pemerintah Jepang dan mengibarkan bendera merah
putih.
K. Tindakan Heroik Di Palembang
Di
Palembang pada 8 Oktober 1945 Dr.A.K.Gani memimpin rakyat mengadakan
upacar pengibarab Bendera Merah-Putih. Perekutan kekuasaan di Plembnag
dilakukan tanpa Insiden. Pihak Jepang berusaha menghindari pertempuran.
L. Tindakan Heroik Di Kalimantan
Di
Kalimantan dukungan Proklamasi Kemerdekaan dilakukan dengan
berdemokrasi, pengibaran Bendera Merah-Putih dan mengadakan rapat-rapat.
Pada 14 November 1945 dengan beraninya sekitar 8000 orang berkumpul di
komplek NICA dengan mengarak Bendera Merah-Putih.
M. Peristiwa Merah Putih di Manado
Peristiwa
ini terjadi pada tanggal 14 februari 1946 di Manado. Para pemuda Manado
bersama laskar rakyat dari barisan pejuang melakukan perebutan
kekuasaan pemerintahan di Manado, Tomohon, dan Minahasa. Sekitar 600
orang pasukan dan pejabat Belanda berhasil ditahan.
Adapun
latar belakang dari peristiwa ini yaitu keinginan pemuda untuk merebut
kembali kekuasan di seluruh Manado yang berada di tangan Belanda.
N. Tindakan Heroik di Nusa Tenggara
Di
Nusa tenggara juga dilakukan usaha perebutan kekuasaan dari sekutu.
Rakyat tetap mengibarkan bendera merah putih dan memakai Lencana Merah.
O. Tindakan Heroik di Papua
Pada
tanggal 14 Maret 1948 para pemuda papua menyerang NICA dan Tangsi
Sorido. Namn serangan itu gagal dan dua orang pemimpinnya dibunuh dan
yang lainnya dipenjara seumur hidup.
P. Tindakan Heroik di Padang dan Bukit Tinggi
Di
padang dan bukit tinggi dibentuk balai penerangan pemuda indonesia dan
pemuda republik indonesia. Kedua organisasi pejuang iitu memelopori
pembentukan BKR dan komite nasional Indonesia.
Q. Tindakan Heroik di Surakarta
Terjadi pertempuran rakyat dengan Jepang di markas Kempeitai. Dalam pertempuran gugur pemuda Arifin.
R. Tindakan Heroik di pulau Sumbawa
Pada Bulan Desember 1945, para pemuda berusaha merebut senjata dari jepang dan bentrokan terjadi di Gempe dan di Sape.
S. Tindakan Heroik di Lampung
BKR dan para pemuda berhasil melucuti senjata Jepang di Teluk Betung, Kalianda dan Manggala.Sabtu, 04 Februari 2012
Peristiwa-Peristiwa Heroik Setelah Kemerdekaan
Pada
1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari
kemudian, tepatnya, 8 Maret, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa
syarat kepada Jepang. Sejak itu, Indonesia diduduki oleh Jepang.
Tiga
tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah
dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki.
Peristiwa itu terjadi pada 6 dan 9 Agustus 1945. Mengisi kekosongan
tersebut, Indonesia kemudian memproklamirkan kemerdekaannya pada 17
Agustus 1945.
Menyerahnya
Jepang kepada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945 membawa hikmah yang
sangat besar kepada perkembangan bangsa Indonesia sebagai sebuah Negara
yanag berdaulat. “Vacuum of Power”, yaitu kekosongan kekuasaan yang
terjadi di Indonesia dapat dimanfaatkan oleh para “Founding fathers”
untuk memproklamasikan
kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan dilanjutkan dengan upaya
melengkapi kelengkapan Negara melalui sidang PPKI tanggal 18, 19 dan 22
Agustus 1945. Maka lengkap dan sah lah Indonesia sebagai sebuah Negara
berdaulat dengan nama Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan
menyerahnya Jepang terhadap Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945, dan
disusul dengan diproklamarkan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, maka
seharusnya tamatlah kekuasaan Jepang di Indonesia. Akan tetapi setelah
kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti
senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang
memakan korban di banyak daerah.
Berikut
ini adalah daftar-daftar peristiwa heroic yang ada di Indonesia setelah
proklamasi kemerdekaan Indonesia di kumandangkan.
A. Pertempuran Lima Hari di Semarang
Pertempuran
5 Hari atau Pertempuran 5 Hari di Semarang adalah serangkaian
pertempuran antara rakyat Indonesia di Semarang melawan Tentara Jepang.
Pertempuran ini adalah perlawanan terhebat rakyat Indonesia terhadap
Jepang pada masa transisi (bedakan dengan Peristiwa 10 November -
perlawanan terhebat rakyat Indonesia dalam melawan sekutu dan Belanda).
Pertempuran ini dimulai pada tanggal 15 Oktober 1945 (walau kenyataannya
suasana sudah mulai memanas sebelumnya) dan berakhir tanggal 20 Oktober
1945.
Berita
Proklamasi dari Jakarta akhirnya sampai ke Semarang. Seperti kota-kota
lain, di Semarang pun rakyat khususnya pemuda berusaha untuk melucuti
senjata Tentara Jepang Kidobutai yang bermarkas di Jatingaleh. Pada
tanggal 13 Oktober, suasana semakin mencekam, Tentara Jepang semakin
terdesak. Tanggal 14 Oktober, Mayor Kido menolak penyerahan senjata sama
sekali. Para pemuda pun marah dan rakyat mulai bergerak
sendiri-sendiri. Aula Rumah Sakit Purusara dijadikan markas perjuangan.
Para pemuda rumah sakit pun tidak tinggal diam dan ikut aktif dalam
upaya menghadapi Jepang. Sementara itu taktik perjuangan pemuda
menggunakan taktik gerilya.
Setelah
pernyataan Mayor Kido, Pada Minggu, 14 Oktober 1945, pukul 6.30 WIB,
pemuda-pemuda rumah sakit mendapat instruksi untuk mencegat dan
memeriksa mobil Jepang yang lewat di depan RS Purusara. Mereka menyita
sedan milik Kempetai dan merampas senjata mereka. Sore harinya, para
pemuda ikut aktif mencari tentara Jepang dan kemudian menjebloskannya ke
Penjara Bulu. Sekitar pukul 18.00 WIB, pasukan Jepang bersenjata
lengkap melancarkan serangan mendadak sekaligus melucuti delapan anggota
polisi istimewa yang waktu itu sedang menjaga sumber air minum bagi
warga Kota Semarang Reservoir Siranda di Candilama. Kedelapan anggota
Polisi Istimewa itu disiksa dan dibawa ke markas Kidobutai di
Jatingaleh. Sore itu tersiar kabar tentara Jepang menebarkan racun ke
dalam reservoir itu. Rakyat pun menjadi gelisah.
Selepas
Magrib, ada telepon dari pimpinan Rumah Sakit Purusara, yang
memberitahukan agar dr. Kariadi, Kepala Laboratorium Purusara segera
memeriksa Reservoir Siranda karena berita Jepang menebarkan racun itu.
Dokter Kariadi kemudian dengan cepat memutuskan harus segera pergi ke
sana. Suasana sangat berbahaya karena tentara Jepang telah melakukan
serangan di beberapa tempat termasuk di jalan menuju ke Reservoir
Siranda. Isteri dr. Kariadi, drg. Soenarti mencoba mencegah suaminya
pergi mengingat keadaan yang sangat genting itu. Namun dr. Kariadi
berpendapat lain, ia harus menyelidiki kebenaran desas-desus itu karena
menyangkut nyawa ribuan warga Semarang. Akhirnya drg. Soenarti tidak
bisa berbuat apa-apa. Ternyata dalam perjalanan menuju Reservoir Siranda
itu, mobil yang ditumpangi dr. Kariadi dicegat tentara Jepang di Jalan
Pandanaran. Bersama tentara pelajar yang menyopiri mobil yang
ditumpanginya, dr. Kariadi ditembak secara keji. Ia sempat dibawa ke
rumah sakit sekitar pukul 23.30 WIB. Ketika tiba di kamar bedah, keadaan
dr. Kariadi sudah sangat gawat. Nyawa dokter muda itu tidak dapat
diselamatkan. Ia gugur dalam usia 40 tahun satu bulan.
Sekitar
pukul 3.00 WIB, 15 Oktober 1945, Mayor Kido memerintahkan sekitar 1.000
tentaranya untuk melakukan penyerangan ke pusat Kota Semarang.
Sementara itu, berita gugurnya dr. Kariadi yang dengan cepat tersebar,
menyulut kemarahan warga Semarang. Hari berikutnya, pertempuran meluas
ke berbagai penjuru kota. Korban berjatuhan di mana-mana. Pada 17
Oktober 1945, tentara Jepang meminta gencatan senjata, namun diam-diam
mereka melakukan serangan ke berbagai kampung. Pada 19 Oktober 1945,
pertempuran terus terjadi di berbagai penjuru Kota Semarang. Pertempuran
ini berlangsung lima hari dan memakan korban 2.000 orang Indonesia dan
850 orang Jepang. Di antara yang gugur, termasuk dr. Kariadi dan delapan
karyawan RS Purusara.
Berdasarkan kejadiannya, kronologis pertempuran lima hari di Semarang dapat dijabarkan sebagai berikut :
a) 7
Oktober : Pemuda Semarang berusaha melucuti senjata Tentara Jepang di
Jatingaleh. Sementara di saat yang sama, pimpinan Jepang dan pemuda
berunding mengenai penyerahan senjata.
b) 13 Oktober : Suasana semakin menegang dan Jepang semakin terdesak.
c) 14
Oktober : Mayor Kido menolak penyerahan senjata. Pukul 06.30, Aula RS
Purusara dijadikan markas perjuangan dan pemuda mencegat serta memeriksa
mobil Jepang yang lewat. Mereka juga menyita sedan milik Kampetai. Sore
harinya, pemuda menjebloskan Tentara Jepang ke Penjara Bulu namun pukul
18.00 Jepang melancarkan serangan mendadak kepada delapan polisi
istimewa yang menjaga Resevoir Siranda di Candi. Kedelapan Polisi itu
disiksa dan sore itu juga tersiatr kabar kalau Jepang menebar racun
dalam reservoir tersebut. Selepas Maghrib, dr. Kariadi memutuskan untuk
segera memeriksa reservoir itu namun istrinya, drg. Sonarti, mencoba
mencegahnya karena ia berpendapat bahwa suasana sedang sangat berbahaya
namun tidak berhasil. Sayangnya, dalam perjalanan dr. Kariadi dan
beberapa tentara pelajar, mereka ditembak secara keji. Dr. kariadi
sempat dibawa ke rumah sakit sekitar namun tidak dapat diselamatkan.
Selain kejadian di atas, pada hari itu juga terjadi pemberontakan 4.000
tentara Jepang di Cepiring.
d) 15
Oktober: Pukul 03.00, Mayor Kido menyuruh 1.000 tentara untuk melakukan
penyerangan ke pusat kota mendengar berita penangjkapann Jenderal
Nakamura dan berita gugurnya dr. Kariadi menyulut kemarahan warga
Semarang. Di Semarang juga terjadi penangkapan Mr. Wongsonegoro, Dr.
Sukaryo, dan Sudanco Mirza Sidharta.
e) 16 Oktober : Pertempuran terus berlanjut
f) 17 Oktober : Jepang berunding dengan Mr. Wongsonegoro
g) 18
Oktober : Ada perundingan gencatan senjata oleh KAsman Singodimejo dan
Jenderal Nakamura. Dalam perundingan ini, Jepang ingin agar senjata yang
direbut segera dikembalikan bila tidak Jepang akan meloakukan
pengeboman pada tanggal 19 Oktober 1945 pukul 10.00.
h) 19
oktober : Pukul 07.45, kedatangan Sekutu di pelabuhan Semarang dengan
kapal HMS Glenry mempercepat perdamaian antara Jepang dan rakyat
sehingga perang berakhir.
Mengenai pertempuran lima hari di Semarang ini, ada beberapa tokoh yang terlbat adalah sbb :
a) dr.
Kariadi dr. Kariadi adalah dokter yang akan mengecek cadangan air minum
di daerah Candi yang kabarnya telah diracuni oleh Jepang. Beliau juga
merupakan Kepala Laboratorium Dinas Pusat Purusara.
b) Mr. Wongsonegoro Gubernur Jawa Tengah yang sempat ditahan oleh Jepang.
c) Dr. Sukaryo dan Sudanco Mirza Sidharta tokoh Indonesia yang ditangkap oleh Jepang betrsama Mr. Wongsonegoro.
d) Mayor Kido Pimpinan Batalion Kido Butai yang berpusat di Jatingaleh.
e) drg. Soenarti istri dr. kariadi.
f) Kasman Singodimejo perwakilan perundingan gencatan senjata dari Indonesia.
g) Jenderal Nakamura Jenderal yang ditangkap oleh TKR di Magelang
Untuk
memperingati Pertempuran 5 Hari di Semarang, dibangun Tugu Muda sebagai
monumen peringatan. Tugu Muda ini dibangun pada tanggal 10 November
1950. Diresmikan oleh presiden Ir. Soekarno pada tanggal 20 Mei 1953.
Bangunan ini terletak di kawasan yang banyak merekam peristiwa penting
selama lima hari pertempuran di Semarang, yaitu di Jl. Pemuda, Jl. Imam
Bonjol, Jl. Dr. Sutomo, dan Jl. Pandanaran dengan lawang sewu. Selain
pembangunan Tugu Muda, Nama dr. Kariadi diabadikan sebagai nama salah
satu rumah sakit di Semarang
B. Pertempuran Surabaya
Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di Kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.
Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih
dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran
bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks
gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan
bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada sore hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda
(Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di
tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan
harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka
menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak
mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan
pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.
Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Soedirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu,
sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang
melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan
Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan
kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari
gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk
menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk mengakui kedaulatan
Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol,
dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas
dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang
berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Soedirman
dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda
berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono
yang semula bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam
pemanjatan tiang bendera dan bersama Koesno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945
meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris
. Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi
serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak
Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.
Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945,
keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi
bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di
Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak
dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah
Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris
marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti
Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.
Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris (Labour Party). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen Inggris (House of Commons)
meragukan bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia.
Dia menyampaikan bahwa peristiwa baku tembak ini disinyalir kuat timbul
karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang
memulai baku tembak tersebut tidak mengetahui bahwa gencatan senjata
sedang berlaku karena mereka terputus dari kontak dan telekomunikasi.
Brigadir Mallaby keluar dari diskusi (gencatan senjata), berjalan lurus
ke arah kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak kepada
serdadu India untuk menghentikan tembakan. Mereka patuh kepadanya.
Mungkin setengah jam kemudian, massa di alun-alun menjadi bergolak lagi.
Brigadir Mallaby, pada titik tertentu dalam diskusi, memerintahkan
serdadu India untuk menembak lagi. Mereka melepaskan tembakan dengan dua
senapan Bren
dan massa bubar dan lari untuk berlindung; kemudian pecah pertempuran
lagi dengan sungguh gencar. Jelas bahwa ketika Brigadir Mallaby memberi
perintah untuk membuka tembakan lagi, perundingan gencatan senjata
sebenarnya telah pecah, setidaknya secara lokal. Dua puluh menit sampai
setengah jam setelah itu, ia (Mallaby) sayangnya tewas dalam
mobilnya-meskipun (kita) tidak benar-benar yakin apakah ia dibunuh oleh
orang Indonesia yang mendekati mobilnya; yang meledak bersamaan dengan
serangan terhadap dirinya (Mallaby).
Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.
Ultimatum
tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan
rakyat yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan Tentara Keamanan Rakyat
(TKR) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak
organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat,
termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia.
Pada
10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala
besar, yang diawali dengan pengeboman udara ke gedung-gedung
pemerintahan Surabaya, dan kemudian mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang.
Inggris kemudian membombardir kota Surabaya dengan meriam dari laut dan darat.
Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh
kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk. Terlibatnya penduduk
dalam pertempuran ini mengakibatkan setidaknya 6,000 - 16,000 pejuang
dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari
Surabaya. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600 -
2000 tentara. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan
korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh
Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan.
Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada
hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.
C. Pertempuran Ambarawa
Pertempuran
Ambarawa atau yang sering disebut sebagai palagan Ambarawa memang
menarik. Secara singkat, dapat diceritakan bahwa disebut Pertempuran
Ambarawa karena memang terjadinya di kota Ambarawa. Pertempuran itu
sebenarnya sudah diawali sejak Oktober 1945, di mana pada tanggal 20
Oktober 1945 tentara Sekutu mendarat di Semarang di bawah pimpinan
Brigadir Jenderal Bethel
Pada tanggal 20 Oktober 1945,
tentara Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Bethell mendarat di Semarang
dengan maksud mengurus tawanan perang dan tentara Jepang yang berada di
Jawa Tengah. Kedatangan sekutu ini diboncengi oleh NICA. Kedatangan Sekutu ini mulanya disambut baik, bahkan Gubernur Jawa Tengah Mr Wongsonegoro
menyepakati akan menyediakan bahan makanan dan keperluan lain bagi
kelancaran tugas Sekutu, sedang Sekutu berjanji tidak akan mengganggu
kedaulatan Republik Indonesia.
Namun, ketika pasukan Sekutu dan NICA telah sampai di Ambarawa
dan Magelang untuk membebaskan para tawanan tentara Belanda, para
tawanan tersebut malah dipersenjatai sehingga menimbulkan kemarahan
pihak Indonesia. Insiden bersenjata timbul di kota Magelang, hingga terjadi pertempuran. Di Magelang, tentara Sekutu bertindak sebagai penguasa yang mencoba melucuti Tentara Keamanan Rakyat dan membuat kekacauan. TKR Resimen Magelang pimpinan Letkol. M. Sarbini
membalas tindakan tersebut dengan mengepung tentara Sekutu dari segala
penjuru. Namun mereka selamat dari kehancuran berkat campur tangan
Presiden Soekarno
yang berhasil menenangkan suasana. Kemudian pasukan Sekutu secara
diam-diam meninggalkan Kota Magelang menuju ke benteng Ambarawa. Akibat
peristiwa tersebut, Resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan Letkol. M.
Sarbini segera mengadakan pengejaran terhadap mereka. Gerakan mundur
tentara Sekutu tertahan di Desa Jambu karena dihadang oleh pasukan
Angkatan Muda di bawah pimpinan Oni Sastrodihardjo yang diperkuat oleh pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta.
Tentara Sekutu kembali dihadang oleh Batalyon I Soerjosoempeno
di Ngipik. Pada saat pengunduran, tentara Sekutu mencoba menduduki dua
desa di sekitar Ambarawa. Pasukan Indonesia di bawah pimpinan Letkol. Isdiman
berusaha membebaskan kedua desa tersebut, namun ia keburu gugur
terlebih dahulu. Sejak gugurnya Letkol. Isdiman, Komandan Divisi V
Banyumas, Kol. Soedirman
merasa kehilangan seorang perwira terbaiknya dan ia langsung turun ke
lapangan untuk memimpin pertempuran. Kehadiran Kol. Soedirman memberikan
napas baru kepada pasukan-pasukan RI. Koordinasi diadakan di antara
komando-komando sektor dan pengepungan terhadap musuh semakin ketat.
Siasat yang diterapkan adalah serangan pendadakan serentak di semua
sektor. Bala bantuan terus mengalir dari Yogyakarta, Solo, Salatiga, Purwokerto, Magelang, Semarang, dan lain-lain.
Tanggal 23 November 1945
ketika matahari mulai terbit, mulailah tembak-menembak dengan pasukan
Sekutu yang bertahan di kompleks gereja dan kerkhop Belanda di Jl. Margo
Agoeng. Pasukan Indonesia terdiri dari Yon. Imam Adrongi, Yon. Soeharto dan Yon. Soegeng.
Tentara Sekutu mengerahkan tawanan-tawanan Jepang dengan diperkuat
tanknya, menyusup ke tempat kedudukan Indonesia dari arah belakang,
karena itu pasukan Indonesia pindah ke Bedono.
Pada tanggal 11 Desember 1945, Kol. Soedirman mengadakan rapat dengan para Komandan Sektor TKR dan Laskar. Pada tanggal 12 Desember 1945
jam 04.30 pagi, serangan mulai dilancarkan. Pembukaan serangan dimulai
dari tembakan mitraliur terlebih dahulu, kemudian disusul oleh
penembak-penembak karaben. Pertempuran berkobar di Ambarawa. Satu
setengah jam kemudian, jalan raya Semarang-Ambarawa dikuasai oleh
kesatuan-kesatuan TKR. Pertempuran Ambarawa berlangsung sengit. Kol.
Soedirman langsung memimpin pasukannya yang menggunakan taktik gelar supit urang,
atau pengepungan rangkap dari kedua sisi sehingga musuh benar-benar
terkurung. Suplai dan komunikasi dengan pasukan induknya diputus sama
sekali. Setelah bertempur selama 4 hari, pada tanggal 15 Desember 1945 pertempuran berakhir dan Indonesia berhasil merebut Ambarawa dan Sekutu dibuat mundur ke Semarang.
Kemenangan pertempuran ini kini diabadikan dengan didirikannya Monumen Palagan Ambarawa dan diperingatinya Hari Jadi TNI Angkatan Darat atau Hari Juang Kartika.
D. Pertempuran Medan Area
Pada
tanggal 24 Agustus 1945, antara pemerintah Kerajaan Inggris dan
Kerajaan Belanda tercapai suatu persetujuan yang terkenal dengan nama
civil Affairs Agreement. Dalam persetujuan ini disebutkan bahwa panglima
tentara pendudukan Inggris di Indonesia akan memegang kekuasaan atas
nama pemerintah Belanda.
Dalam
melaksanakan hal-hal yang berkenaan dengan pemerintah sipil,
pelaksanaannya diselenggarakan oleh NICA dibawah tanggungjawab komando
Inggris. Kekuasaan itu kelak di kemudian hari akan dikembalikan kepada
Belanda. Inggris dan Belanda membangun rencana untuk memasuki berbagai
kota strategis di Indonesia yang baru saja merdeka. Salah satu kota yang
akan didatangi Inggris dengan “menyelundupkan” NICA Belanda adalah
Medan.
Sementara
di tempat lain pada tanggal 27 Agustus 1945 rakyat Medan baru mendengar
berita proklamasi yang dibawa oleh Mr. Teuku Moh Hassan sebagai
Gubernur Sumatera. Mengggapi berita proklamasi para pemuda dibawah
pimpinan Achmad lahir membentuk barisan Pemuda Indonesia.
Pada
tanggal 9 Oktober 1945 rencana dalam Civil Affairs Agreement
benar-benar dilaksanakan. Tentara Inggris yang diboncengi oleh NICA
mendarat di Medan. Mereka dipimpin oleh Brigjen T.E.D Kelly.
Awalnya
mereka diterima secara baik oleh pemerintah RI di Sumatra Utara
sehubungan dengan tugasnya untuk membebaskan tawanan perang (tentara
Belanda). Sebuah insiden terjadi di hotel Jalan Bali, Medan pada tanggal
13 Oktober 1945.
Saat
itu seorang penghuni hotel (pasukan NICA) merampas dan menginjak-injak
lencana Merah Putih yang dipakai pemuda Indonesia. Hal ini mengundang
kemarahan para pemuda. Akibatnya terjadi perusakan dan penyerangan
terhadap hotel yang banyak dihuni pasukan NICA. Pada tanggal 1 Desember
1945, pihak Sekutu memasang papan-papan yang bertuliskan Fixed
Boundaries Medan Area di berbagai sudut kota Medan.
Sejak
saat itulah Medan Area menjadi terkenal. Pasukan Inggris dan NICA
mengadakan pembersihan terhadap unsur Republik yang berada di kota
Medan. Hal ini jelas menimbulkan reaksi para pemuda dan TKR untuk
melawan kekuatan asing yang mencoba berkuasa kembali. Pada tanggal 10
Agustus 1946 di Tebingtinggi diadakan pertemuan antara komandan-komandan
pasukan yang berjuang di Medan Area. Pertemuan tersebut memutuskan
dibentuknya satu komando yang bernama Komando Resimen Laskar Rakyat
Medan Area.
Pada
tanggal 10 desember 1945, Sekutu dan NICA melancarkan serangan
besar-besaran terhadap kota Medan. Serangan ini menimbulkan banyak
koraban di kedua belah pihak. Pada bulan April 1946, Sekutu berhasil
menduduki kota Medan. Pusat perjuangan rakyat Medan kemudian dipindahkan
ke Pemantangsiantar.
Untuk
melanjutkan perjuangan di Medan maka pada bulan Agustus 1946 dibentuk
Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area. Komandan initerus mengadakan
serangan terhadap Sekutu diwilayah Medan. Hampir di seluruh wilayah
Sumatera terjadi perlawanan rakayat terhadap Jepang, Sekutu, dan
Belanda. Pertempuran itu terjadi, antara lian di Pandang, Bukit tinggi
dan Aceh.
E. Bandung Lautan Api
Peristiwa Bandung Lautan Api adalah peristiwa kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung, provinsi Jawa Barat, Indonesia pada 24 Maret 1946. Dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk Bandung[1] membakar rumah mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda untuk dapat menggunakan kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.
Pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945.
Sejak semula hubungan mereka dengan pemerintah RI sudah tegang. Mereka
menuntut agar semua senjata api yang ada di tangan penduduk, kecuali TKR
dan polisi,
diserahkan kepada mereka. Orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari
kamp tawanan mulai melakukan tindakan-tindakan yang mulai menganggu
keamanan. Akibatnya, bentrokan bersenjata antara Inggris dan TKR tidak
dapat dihindari. Malam tanggal 24 November 1945, TKR dan badan-badan perjuangan melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Homann dan Hotel Preanger
yang mereka gunakan sebagai markas. Tiga hari kemudian, MacDonald
menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar Bandung Utara
dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata.
Ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara Republik Indonesia (TRI, TNI kala itu) meninggalkan kota Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi "bumihangus". Para pejuang pihak Republik Indonesia tidak rela bila Kota Bandung dimanfaatkan oleh pihak Sekutu dan NICA. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, pada tanggal 24 Maret 1946[2]. Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III TRI mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan evakuasi Kota Bandung.[rujukan?]
Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang
meninggalkan kota Bandung dan malam itu pembakaran kota berlangsung.
Bandung
sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat setempat dengan maksud agar Sekutu
tidak dapat menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Di
mana-mana asap hitam mengepul membubung tinggi di udara dan semua
listrik mati. Tentara Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran
sengit terjadi. Pertempuran yang paling besar terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat gudang amunisi besar milik Tentara Sekutu. Dalam pertempuran ini Muhammad Toha dan Ramdan,
dua anggota milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia) terjun dalam misi
untuk menghancurkan gudang amunisi tersebut. Muhammad Toha berhasil
meledakkan gudang tersebut dengan dinamit.
Gudang besar itu meledak dan terbakar bersama kedua milisi tersebut di
dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal
di dalam kota, tetapi demi keselamatan mereka, maka pada pukul 21.00
itu juga ikut dalam rombongan yang mengevakuasi dari Bandung. Sejak saat
itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari
penduduk dan TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota, sehingga
Bandung pun menjadi lautan api.
Pembumihangusan Bandung tersebut dianggap merupakan strategi yang tepat dalam Perang Kemerdekaan Indonesia
karena kekuatan TRI dan milisi rakyat tidak sebanding dengan kekuatan
pihak Sekutu dan NICA yang berjumlah besar. Setelah peristiwa tersebut,
TRI bersama milisi rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar
Bandung. Peristiwa ini mengilhami lagu Halo, Halo Bandung yang nama penciptanya masih menjadi bahan perdebatan.
Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo, Halo Bandung"
secara resmi ditulis, menjadi kenangan akan emosi yang para pejuang
kemerdekaan Republik Indonesia alami saat itu, menunggu untuk kembali ke
kota tercinta mereka yang telah menjadi lautan api.
Latar belakang Bandung Lautan Api, antara lain :
a) Pasukan sekutu Inggris memasuki kota Bandung dan sikap pasukan NICA yang merajalela dengan aksi terornya.
b) Perundingan antara pihak RI dengan Sekutu/NICA, dimana Bandung dibagi dua bagian.
c) Bendungan sungai Cikapundung yang jebol dan menyebabkan banjir besar dalam kota.
d) Keinginan sektu yang menuntut pengosongan sejauh 11km dari Bandung Utara.
F. Pertempuran Margarana
Latar
belakang munculnya puputan Margarana atau pertempuran Margarana sendiri
bermula dari Perundingan Linggarjati. Pada tanggal 10 November 1946,
Belanda melakukan perundingan linggarjati dengan pemerintah Indonesia.
Salah satu isi dari perundingan Linggajati adalah Belanda mengakui
secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang
meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Selanjutnya Belanda diharuskan
sudah meninggalkan daerah de facto paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
Pada tanggal 2 dan 3 Maret 1949 Belanda mendaratkan pasukannya kurang
lebih 2000 tentara di Bali yang diikuti oleh tokoh-tokoh yang memihak
Belanda. Tujuan dari pendaratan Belanda ke Bali sendiri adalah untuk
menegakkan berdirinya Negara Indonesia Timur. Pada waktu itu Letnan
Kolonel I Gusti Ngurah Rai yang menjabat sebagai Komandan Resiman Nusa
Tenggara sedang pergi ke Yogyakarta untuk mengadakan konsultasi dengan
Markas tertinggi TRI, sehingga dia tidak mengetahui tentang pendaratan
Belanda tersebut.
Di
saat pasukan Belanda sudah berhasil mendarat di Bali, perkembangan
politik di pusat Pemerintahan Republik Indonesia kurang menguntungkan
akibat perundingan Linggajati, di mana pulau Bali tidak diakui sebagai
bagian wilayah Republik Indonesia. Pada umumnya Rakyat Bali sendiri
merasa kecewa terhadap isi perundingan tersebut karena mereka merasa
berhak masuk menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Terlebih lagi ketika Belanda berusaha membujuk Letnan Kolonel I
Gusti Ngurah Rai untuk diajak membentuk Negara Indonesia Timur. Untung
saja ajakan tersebut ditolak dengan tegas oleh I Gusti Ngurah Rai,
bahkan dijawab dengan perlawanan bersenjata Pada tanggal 18 November
1946. Pada saat itu I Gusti Ngurah Rai bersama pasukannya Ciung Wanara
Berhasil memperoleh kemenangan dalam penyerbuan ke tangsi NICA di
Tabanan. Karena geram, kemudian Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya
di Bali dan Lombok untuk menghadapi perlawanan I Gusti Ngurah Rai dan
Rakyat Bali. Selain merasa geram terhadap kekalahan pada pertempuran
pertama, ternyata pasukan Belanda juga kesal karena adanya konsolidasi
dan pemusatan pasukan Ngurah Rai yang ditempatkan di Desa Adeng,
Kecamatan Marga, Tabanan, Bali. Setelah berhasil mengumpulkan pasukannya
dari Bali dan Lombok, kemudian Belanda berusaha mencari pusat kedudukan
pasukan Ciung Wanara.
Pada
tanggal 20 November 1946 I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya (Ciung
Wanara), melakukan longmarch ke Gunung Agung, ujung timur Pulau Bali.
Tetapi tiba-tiba di tengah perjalanan, pasukan ini dicegat oleh serdadu
Belanda di Desa Marga, Tabanan, Bali.
Tak
pelak, pertempuran sengit pun tidak dapat diindahkan. Sehingga sontak
daerah Marga yang saat itu masih dikelilingi ladang jagung yang tenang,
berubah menjadi pertempuran yang menggemparkan dan mendebarkan bagi
warga sekitar. Bunyi letupan senjata tiba-tiba serentak mengepung ladang
jagung di daerah perbukitan yang terletak sekitar 40 kilometer dari
Denpasar itu.
Pasukan
pemuda Ciung Wanara yang saat itu masih belum siap dengan
persenjataannya, tidak terlalu terburu-buru menyerang serdadu Belanda.
Mereka masih berfokus dengan pertahanannya dan menunggu komando dari I
Gusti Ngoerah Rai untuk membalas serangan. Begitu tembakan tanda
menyerang diletuskan, puluhan pemuda menyeruak dari ladang jagung dan
membalas sergapan tentara Indische Civil Administration (NICA) bentukan
Belanda. Dengan senjata rampasan, akhirnya Ciung Wanara berhasil memukul
mundur serdadu Belanda.
Namun
ternyata pertempuran belum usai. Kali ini serdadu Belanda yang sudah
terpancing emosi berubah menjadi semakin brutal. Kali ini, bukan hanya
letupan senjata yang terdengar, namun NICA menggempur pasukan muda I
Gusti Ngoerah Rai ini dengan bom dari pesawat udara. Hamparan sawah dan
ladang jagung yang subur itu kini menjadi ladang pembantaian penuh asap
dan darah.
Perang
sampai habis atau puputan inilah yang kemudian mengakhiri hidup I Gusti
Ngurah Rai. Peristiwa inilah yang kemudian dicatat sebagai peristiwa
Puputan Margarana. Malam itu pada 20 November 1946 di Marga adalah
sejarah penting tonggak perjuangan rakyat di Indonesia melawan kolonial
Belanda demi Nusa dan Bangsa.
G. Pertempuran Laut Aru
Pertempuran Laut Aru adalah suatu pertempuran yang terjadi di Laut Aru, Maluku, pada tanggal 15 Januari 1962 antara Indonesia dan Belanda. Insiden ini terjadi sewaktu dua kapal jenis destroyer, pesawat jenis Neptune dan Frely milik Belanda menyerang RI Matjan Tutul (650), RI Matjan Kumbang (653) dan RI Harimau (654) milik Indonesia yang sedang berpatroli pada posisi 04,49° LS dan 135,02° BT. Komodor Yos Sudarso gugur pada pertempuran ini setelah menyerukan pesan terakhirnya yang terkenal, "Kobarkan semangat pertempuran".
Peristiwa
Aru bermula dari suatu operasi rahasia untuk menyusupkan sukarelawan
suku Irian yang telah dilatih oleh TNI-AD ke Irian Barat. Komando
Trikora memang sudah terbentuk, namun misi tersebut dilaksanakan bukan
dalam konteks operasi gabungan. Komando berdiri sendiri sebagai task
force dengan misi tertentu.
Hampir
semua kekuatan yang akan dilibatkan dalam Operasi Trikora belum siap.
Bahkan semua kekuatan udara masih stand by di Jawa. Namun ternyata
Angkatan Darat telah mendahului dengan melakukan penyusupan sukarelawan.
Untuk melaksanakan misi itu, AD minta bantuan ALRI untuk mengangkut
pasukan dari Jakarta menuju pantai Irian. Sedangkan AURI hanya diminta
mengerahkan dua pesawat Hercules untuk mengangkut pasukan dari Jakarta
menuju target yang nantinya ditentukan oleh ALRI.
Karena
misi itu sangat rahasia, di Mabes AURI hanya beberapa petinggi yang
mengetahui. Walaupun nyatanya tidak rumit, hanya mengangkut pasukan ke
sebuah pangkalan di dalam negeri dengan terbang rendah. Batas tugas AURI
hanya memindahkan pasukan dengan Hercules, selebihnya tidak menjadi
tanggung jawab Mabes AURI.
Pada
12 Januari 1962, pasukan berhasil didaratkan di Letfuan. Kedua Hercules
kembali ke pangkalan, dan AURI pun menjalankan tugas rutinnya. Namun
tanggal 18 Januari muncul situasi yang kurang mengenakkan, saat ada
pimpinan angkatan lain melapor ke Bung Karno bahwa tiadanya perlindungan
dari AURI telah menyebabkan sebuah operasi gagal. Sampai saat itu pihak
AURI belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Ternyata
pada 15 Januari telah terjadi kontak senjata antara armada ALRI dengan
AL Belanda di Laut Aru yang menyebabkan gugurnya Komodor Yos Sudarso dan
prajurit-prajurit ALRI lainnya. Kalau dikatakan AURI tidak melindungi
kapal beserta para prajurit ALRI, bukankah tugas AURI hanya mengangkut
pasukan dengan dua Hercules dalam operasi penyusupan ke Irian?
Tidak
ada kesalahan dalam peristiwa itu, namun AURI disalahkan. Padahal
mereka yang tahu rumitnya mengkoordinasikan operasi udara, apalagi
dengan pengeboman untuk melindungi kapal perang, pasti akan berpikir
seratus kali lipat untuk menudingkan kesalahan seperti itu. Tapi
begitulah. Orang yang tidak tahu, dan tidak mau tahu, telah menudingkan
kesalahan – dan pemegang kekuasaan tertinggi pun membenarkan.
Hari
H untuk pelaksanaan operasi penyusupan adalah Senin, 15 Januari 1962.
Pada H minus tiga (-3), semua kapal ALRI telah merapat di rendezvous
point di sebuah pulau di Kepulauan Aru. Pasukan yang sudah diturunkan
dari Hercules AURI juga sudah diangkut kapal dari Letfuan menuju pulau
tersebut. Pada hari pertama di titik itu, pesawat-pesawat Belanda sudah
datang mengintai. Hal yang sama terjadi pada H -2 dan H -1.
Hari
H pukul 17.00 waktu setempat, tiga kapal mulai bergerak. KRI Harimau
berada di depan, membawa antara lain Kol. Sudomo, Kol. Mursyid, dan
Kapten Tondomulyo. Di belakangnya adalah KRI Macan Tutul yang dinaiki
Komodor Yos Sudarso. Sedangkan di belakang adalah KRI Macan Kumbang.
Menjelang
pukul 21.00, Kol. Mursyid melihat radar blips pada lintasan depan yang
akan dilewati iringan tiga kapal itu. Dua di sebelah kanan dan satu di
kiri. Blips tersebut tidak bergerak, menandakan kapal-kapal sedang
berhenti. Ketiga KRI kemudian melaju. Tiba-tiba terdengar dengung
pesawat mendekat, lalu menjatuhkan flare yang tergantung pada parasut.
Keadaan tiba-tiba menjadi terang-benderang, dalam waktu cukup lama. Tiga
kapal Belanda yang berukuran lebih besar ternyata sudah menunggu
kedatangan ketiga KRI. Kapal Belanda melepaskan tembakan peringatan yang
jatuh di samping KRI Harimau. Kol. Sudomo memerintahkan untuk balas
menembak namun tidak mengenai sasaran. Komodor Yos Sudarso memerintahkan
ketiga KRI untuk kembali. Ketiga kapal pun serentak membelok 180o.
Naas, KRI Macan Tutul macet dan terus membelok ke kanan. Kapal-kapal
Belanda mengira manuver berputar itu untuk menyerang mereka. Sehingga
mereka langsung menembaki kapal itu. Tembakan pertama meleset, namun
tembakan kedua tepat mengenai KRI Macan Tutul. Menjelang tembakan telak
menghantam kapal, Komodor Yos Sudarso meneriakkan perintah, “Kobarkan
semangat pertempuran!”
AURI
berada dalam kondisi ditekan karena misi yang gagal itu. Orang mengira,
kekuatan AURI mampu melayang-layang selamanya di udara dan mengawasi
setiap jengkal wilayah RI. Negara superpower seperti AS pun tidak akan
bisa melakukannya di era itu, apalagi kita. Bagaimana pesawat terbang
melaksanakan misi bantuan serangan udara tanpa ada koordinasi
sebelumnya? Bahkan operasi itu sendiri tidak pernah dibicarakan dengan
pimpinan AURI. Namun saat gagal, kesalahan ditimpakan ke pihak AURI.
Untuk mengakhiri polemik, KSAU Suryadarma mengundurkan diri pada 19
Januari 1962. AURI pun berduka cita.
Hari
Sabtu, 20 Januari 1962, diadakan rapat di Istana Bogor yang dipimpin
oleh Bung Karno, untuk mengangkat Laksamana Muda Omar Dhani sebagai KSAU
yang baru. Setelah itu langsung diadakan brifing mengenai peristiwa
Aru. Kolonel Mursyid sebagai komandan tim juga sudah kembali untuk
memberikan paparan. Begitu paparan selesai, suasana di ruang rapat yang
terletak di sayap kiri Istana Bogor itu jadi mencekam, serius, sepi, dan
semua diam. Seakan-akan menikmati rasa kemenangan dan kepahlawanan. Yos
Sudarso gugur, operasi gagal, namun dinilai heroik.
Peristiwa
Aru kemudian berlalu begitu saja. Sampai saatnya nanti orang bisa
menilai, pengorbanan batin para pimpinan AURI di masa itu adalah wujud
nyata sikap tertinggi dalam disiplin prajurit, yaitu loyalitas.
H. Tindakan Heroik Di Yogyakarta
Pada
tanggal 26 September 1945 terjadi perebutan kekuasaan dan para pegawai
negeri semua mogok karena peristiwa ini. Sejak pukul 10.00, mereka mogok
bekerja dan memaksa Jepang untuk menyerahkan semua kantor Jepang ke
Indonesia. Diperkuat oleh pengumuman oleh KNI DI Yogyakarta pada 26
September 1945 bahwa kekuasaan di daerah itu sekarang berada di tangan
pemerintah RI. Kemudian terjadilah demo dan para pemuda berusaha untuk
merebut senjata dan peralatan perang, sedapat mungkin tanpa melalui
jalan kekerasan. Tapi karena usaha perundingan gagal, pada 1 Oktober
malam, para pemuda, BKR dan kepolisian menyerbu Tansi Otsuka Butai yang berada di kota baru. Malam itu juga Otsuka Butai menyerah setelah 18 orang pemuda polisi gugur.
Serangan Umum 1 Maret 1949 dilakukan terhadap kota Yogyakarta
secara secara besar-besaran yang direncanakan dan dipersiapkan oleh
jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan
mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat
berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman,
untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI - berarti juga
Republik Indonesia - masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian
dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang
berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan tujuan utama untuk mematahkan
moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai komandan brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.
I. Peristiwa 11 Nopember 1946 di Sulawesi Selatan
Pada
saat Belanda (Mayjend Van Mook) sedang mengadakan Konferensi Denpasar
dalam rangka pembentukan negara Indonesia Timur dan negara-negara boneka
lainnya, pada tanggal 11 Desember 1946 Belanda mengumumkan bahwa
Sulawesi berada dalam status darurat perang dan hukum militer (akibat
dari penolakan rakyat terhadap rencana (pembentukan Negara Indonesia
Timur). Rakyat Sulawesi Selatan yang diangap menolak atau tidak
setuju/menentang rencana tersebut dibantai habis oleh pasukan Belanda
pimpinan Raymond Westerling yang mengakibatkan lebih dari 40.000 jiwa
rakyat Sulawesi meninggal. Robert Wolter Monginsidi dan Andi Matalatta
yang memimpin pasukan untuk melawan kebiadaban Belanda akhirnya
tertangkap dan dijatuhi hukuman mati.
J. Tindakan Heroik Di Aceh
Di
Aceh terjadi sebuah pertempuran besar. Pertempuran tersebut terjadi
karena pembentukan Organisasi yang dibentuk oleh para pemuda pada
tanggal 6 oktober 1945 yang diberi nama Angkatan Pemuda Indonesia (API),
namun seminggu berdirinya organisasi tersebut kemudian jepang melarang
berdirinya Organisasi tersebut. Walaupun dipakasa untuk membubarkan API,
tapi para pemuda menolak dengan keras dan timbullah pertempuran. Para
pemuda melucuti senjata Jepang. Selain itu, para pemuda juga mengambil
alih kantor-kantor pemerintah Jepang dan mengibarkan bendera merah
putih.
K. Tindakan Heroik Di Palembang
Di
Palembang pada 8 Oktober 1945 Dr.A.K.Gani memimpin rakyat mengadakan
upacar pengibarab Bendera Merah-Putih. Perekutan kekuasaan di Plembnag
dilakukan tanpa Insiden. Pihak Jepang berusaha menghindari pertempuran.
L. Tindakan Heroik Di Kalimantan
Di
Kalimantan dukungan Proklamasi Kemerdekaan dilakukan dengan
berdemokrasi, pengibaran Bendera Merah-Putih dan mengadakan rapat-rapat.
Pada 14 November 1945 dengan beraninya sekitar 8000 orang berkumpul di
komplek NICA dengan mengarak Bendera Merah-Putih.
M. Peristiwa Merah Putih di Manado
Peristiwa
ini terjadi pada tanggal 14 februari 1946 di Manado. Para pemuda Manado
bersama laskar rakyat dari barisan pejuang melakukan perebutan
kekuasaan pemerintahan di Manado, Tomohon, dan Minahasa. Sekitar 600
orang pasukan dan pejabat Belanda berhasil ditahan.
Adapun
latar belakang dari peristiwa ini yaitu keinginan pemuda untuk merebut
kembali kekuasan di seluruh Manado yang berada di tangan Belanda.
N. Tindakan Heroik di Nusa Tenggara
Di
Nusa tenggara juga dilakukan usaha perebutan kekuasaan dari sekutu.
Rakyat tetap mengibarkan bendera merah putih dan memakai Lencana Merah.
O. Tindakan Heroik di Papua
Pada
tanggal 14 Maret 1948 para pemuda papua menyerang NICA dan Tangsi
Sorido. Namn serangan itu gagal dan dua orang pemimpinnya dibunuh dan
yang lainnya dipenjara seumur hidup.
P. Tindakan Heroik di Padang dan Bukit Tinggi
Di
padang dan bukit tinggi dibentuk balai penerangan pemuda indonesia dan
pemuda republik indonesia. Kedua organisasi pejuang iitu memelopori
pembentukan BKR dan komite nasional Indonesia.
Q. Tindakan Heroik di Surakarta
Terjadi pertempuran rakyat dengan Jepang di markas Kempeitai. Dalam pertempuran gugur pemuda Arifin.
R. Tindakan Heroik di pulau Sumbawa
Pada Bulan Desember 1945, para pemuda berusaha merebut senjata dari jepang dan bentrokan terjadi di Gempe dan di Sape.
S. Tindakan Heroik di Lampung
BKR dan para pemuda berhasil melucuti senjata Jepang di Teluk Betung, Kalianda dan Manggala.Sabtu, 04 Februari 2012
Peristiwa-Peristiwa Heroik Setelah Kemerdekaan
Pada
1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari
kemudian, tepatnya, 8 Maret, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa
syarat kepada Jepang. Sejak itu, Indonesia diduduki oleh Jepang.
Tiga
tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah
dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki.
Peristiwa itu terjadi pada 6 dan 9 Agustus 1945. Mengisi kekosongan
tersebut, Indonesia kemudian memproklamirkan kemerdekaannya pada 17
Agustus 1945.
Menyerahnya
Jepang kepada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945 membawa hikmah yang
sangat besar kepada perkembangan bangsa Indonesia sebagai sebuah Negara
yanag berdaulat. “Vacuum of Power”, yaitu kekosongan kekuasaan yang
terjadi di Indonesia dapat dimanfaatkan oleh para “Founding fathers”
untuk memproklamasikan
kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan dilanjutkan dengan upaya
melengkapi kelengkapan Negara melalui sidang PPKI tanggal 18, 19 dan 22
Agustus 1945. Maka lengkap dan sah lah Indonesia sebagai sebuah Negara
berdaulat dengan nama Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan
menyerahnya Jepang terhadap Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945, dan
disusul dengan diproklamarkan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, maka
seharusnya tamatlah kekuasaan Jepang di Indonesia. Akan tetapi setelah
kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti
senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang
memakan korban di banyak daerah.
Berikut
ini adalah daftar-daftar peristiwa heroic yang ada di Indonesia setelah
proklamasi kemerdekaan Indonesia di kumandangkan.
A. Pertempuran Lima Hari di Semarang
Pertempuran
5 Hari atau Pertempuran 5 Hari di Semarang adalah serangkaian
pertempuran antara rakyat Indonesia di Semarang melawan Tentara Jepang.
Pertempuran ini adalah perlawanan terhebat rakyat Indonesia terhadap
Jepang pada masa transisi (bedakan dengan Peristiwa 10 November -
perlawanan terhebat rakyat Indonesia dalam melawan sekutu dan Belanda).
Pertempuran ini dimulai pada tanggal 15 Oktober 1945 (walau kenyataannya
suasana sudah mulai memanas sebelumnya) dan berakhir tanggal 20 Oktober
1945.
Berita
Proklamasi dari Jakarta akhirnya sampai ke Semarang. Seperti kota-kota
lain, di Semarang pun rakyat khususnya pemuda berusaha untuk melucuti
senjata Tentara Jepang Kidobutai yang bermarkas di Jatingaleh. Pada
tanggal 13 Oktober, suasana semakin mencekam, Tentara Jepang semakin
terdesak. Tanggal 14 Oktober, Mayor Kido menolak penyerahan senjata sama
sekali. Para pemuda pun marah dan rakyat mulai bergerak
sendiri-sendiri. Aula Rumah Sakit Purusara dijadikan markas perjuangan.
Para pemuda rumah sakit pun tidak tinggal diam dan ikut aktif dalam
upaya menghadapi Jepang. Sementara itu taktik perjuangan pemuda
menggunakan taktik gerilya.
Setelah
pernyataan Mayor Kido, Pada Minggu, 14 Oktober 1945, pukul 6.30 WIB,
pemuda-pemuda rumah sakit mendapat instruksi untuk mencegat dan
memeriksa mobil Jepang yang lewat di depan RS Purusara. Mereka menyita
sedan milik Kempetai dan merampas senjata mereka. Sore harinya, para
pemuda ikut aktif mencari tentara Jepang dan kemudian menjebloskannya ke
Penjara Bulu. Sekitar pukul 18.00 WIB, pasukan Jepang bersenjata
lengkap melancarkan serangan mendadak sekaligus melucuti delapan anggota
polisi istimewa yang waktu itu sedang menjaga sumber air minum bagi
warga Kota Semarang Reservoir Siranda di Candilama. Kedelapan anggota
Polisi Istimewa itu disiksa dan dibawa ke markas Kidobutai di
Jatingaleh. Sore itu tersiar kabar tentara Jepang menebarkan racun ke
dalam reservoir itu. Rakyat pun menjadi gelisah.
Selepas
Magrib, ada telepon dari pimpinan Rumah Sakit Purusara, yang
memberitahukan agar dr. Kariadi, Kepala Laboratorium Purusara segera
memeriksa Reservoir Siranda karena berita Jepang menebarkan racun itu.
Dokter Kariadi kemudian dengan cepat memutuskan harus segera pergi ke
sana. Suasana sangat berbahaya karena tentara Jepang telah melakukan
serangan di beberapa tempat termasuk di jalan menuju ke Reservoir
Siranda. Isteri dr. Kariadi, drg. Soenarti mencoba mencegah suaminya
pergi mengingat keadaan yang sangat genting itu. Namun dr. Kariadi
berpendapat lain, ia harus menyelidiki kebenaran desas-desus itu karena
menyangkut nyawa ribuan warga Semarang. Akhirnya drg. Soenarti tidak
bisa berbuat apa-apa. Ternyata dalam perjalanan menuju Reservoir Siranda
itu, mobil yang ditumpangi dr. Kariadi dicegat tentara Jepang di Jalan
Pandanaran. Bersama tentara pelajar yang menyopiri mobil yang
ditumpanginya, dr. Kariadi ditembak secara keji. Ia sempat dibawa ke
rumah sakit sekitar pukul 23.30 WIB. Ketika tiba di kamar bedah, keadaan
dr. Kariadi sudah sangat gawat. Nyawa dokter muda itu tidak dapat
diselamatkan. Ia gugur dalam usia 40 tahun satu bulan.
Sekitar
pukul 3.00 WIB, 15 Oktober 1945, Mayor Kido memerintahkan sekitar 1.000
tentaranya untuk melakukan penyerangan ke pusat Kota Semarang.
Sementara itu, berita gugurnya dr. Kariadi yang dengan cepat tersebar,
menyulut kemarahan warga Semarang. Hari berikutnya, pertempuran meluas
ke berbagai penjuru kota. Korban berjatuhan di mana-mana. Pada 17
Oktober 1945, tentara Jepang meminta gencatan senjata, namun diam-diam
mereka melakukan serangan ke berbagai kampung. Pada 19 Oktober 1945,
pertempuran terus terjadi di berbagai penjuru Kota Semarang. Pertempuran
ini berlangsung lima hari dan memakan korban 2.000 orang Indonesia dan
850 orang Jepang. Di antara yang gugur, termasuk dr. Kariadi dan delapan
karyawan RS Purusara.
Berdasarkan kejadiannya, kronologis pertempuran lima hari di Semarang dapat dijabarkan sebagai berikut :
a) 7
Oktober : Pemuda Semarang berusaha melucuti senjata Tentara Jepang di
Jatingaleh. Sementara di saat yang sama, pimpinan Jepang dan pemuda
berunding mengenai penyerahan senjata.
b) 13 Oktober : Suasana semakin menegang dan Jepang semakin terdesak.
c) 14
Oktober : Mayor Kido menolak penyerahan senjata. Pukul 06.30, Aula RS
Purusara dijadikan markas perjuangan dan pemuda mencegat serta memeriksa
mobil Jepang yang lewat. Mereka juga menyita sedan milik Kampetai. Sore
harinya, pemuda menjebloskan Tentara Jepang ke Penjara Bulu namun pukul
18.00 Jepang melancarkan serangan mendadak kepada delapan polisi
istimewa yang menjaga Resevoir Siranda di Candi. Kedelapan Polisi itu
disiksa dan sore itu juga tersiatr kabar kalau Jepang menebar racun
dalam reservoir tersebut. Selepas Maghrib, dr. Kariadi memutuskan untuk
segera memeriksa reservoir itu namun istrinya, drg. Sonarti, mencoba
mencegahnya karena ia berpendapat bahwa suasana sedang sangat berbahaya
namun tidak berhasil. Sayangnya, dalam perjalanan dr. Kariadi dan
beberapa tentara pelajar, mereka ditembak secara keji. Dr. kariadi
sempat dibawa ke rumah sakit sekitar namun tidak dapat diselamatkan.
Selain kejadian di atas, pada hari itu juga terjadi pemberontakan 4.000
tentara Jepang di Cepiring.
d) 15
Oktober: Pukul 03.00, Mayor Kido menyuruh 1.000 tentara untuk melakukan
penyerangan ke pusat kota mendengar berita penangjkapann Jenderal
Nakamura dan berita gugurnya dr. Kariadi menyulut kemarahan warga
Semarang. Di Semarang juga terjadi penangkapan Mr. Wongsonegoro, Dr.
Sukaryo, dan Sudanco Mirza Sidharta.
e) 16 Oktober : Pertempuran terus berlanjut
f) 17 Oktober : Jepang berunding dengan Mr. Wongsonegoro
g) 18
Oktober : Ada perundingan gencatan senjata oleh KAsman Singodimejo dan
Jenderal Nakamura. Dalam perundingan ini, Jepang ingin agar senjata yang
direbut segera dikembalikan bila tidak Jepang akan meloakukan
pengeboman pada tanggal 19 Oktober 1945 pukul 10.00.
h) 19
oktober : Pukul 07.45, kedatangan Sekutu di pelabuhan Semarang dengan
kapal HMS Glenry mempercepat perdamaian antara Jepang dan rakyat
sehingga perang berakhir.
Mengenai pertempuran lima hari di Semarang ini, ada beberapa tokoh yang terlbat adalah sbb :
a) dr.
Kariadi dr. Kariadi adalah dokter yang akan mengecek cadangan air minum
di daerah Candi yang kabarnya telah diracuni oleh Jepang. Beliau juga
merupakan Kepala Laboratorium Dinas Pusat Purusara.
b) Mr. Wongsonegoro Gubernur Jawa Tengah yang sempat ditahan oleh Jepang.
c) Dr. Sukaryo dan Sudanco Mirza Sidharta tokoh Indonesia yang ditangkap oleh Jepang betrsama Mr. Wongsonegoro.
d) Mayor Kido Pimpinan Batalion Kido Butai yang berpusat di Jatingaleh.
e) drg. Soenarti istri dr. kariadi.
f) Kasman Singodimejo perwakilan perundingan gencatan senjata dari Indonesia.
g) Jenderal Nakamura Jenderal yang ditangkap oleh TKR di Magelang
Untuk
memperingati Pertempuran 5 Hari di Semarang, dibangun Tugu Muda sebagai
monumen peringatan. Tugu Muda ini dibangun pada tanggal 10 November
1950. Diresmikan oleh presiden Ir. Soekarno pada tanggal 20 Mei 1953.
Bangunan ini terletak di kawasan yang banyak merekam peristiwa penting
selama lima hari pertempuran di Semarang, yaitu di Jl. Pemuda, Jl. Imam
Bonjol, Jl. Dr. Sutomo, dan Jl. Pandanaran dengan lawang sewu. Selain
pembangunan Tugu Muda, Nama dr. Kariadi diabadikan sebagai nama salah
satu rumah sakit di Semarang
B. Pertempuran Surabaya
Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di Kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.
Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih
dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran
bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks
gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan
bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada sore hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda
(Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di
tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan
harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka
menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak
mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan
pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.
Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Soedirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu,
sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang
melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan
Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan
kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari
gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk
menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk mengakui kedaulatan
Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol,
dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas
dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang
berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Soedirman
dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda
berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono
yang semula bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam
pemanjatan tiang bendera dan bersama Koesno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945
meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris
. Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi
serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak
Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.
Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945,
keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi
bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di
Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak
dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah
Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris
marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti
Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.
Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris (Labour Party). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen Inggris (House of Commons)
meragukan bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia.
Dia menyampaikan bahwa peristiwa baku tembak ini disinyalir kuat timbul
karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang
memulai baku tembak tersebut tidak mengetahui bahwa gencatan senjata
sedang berlaku karena mereka terputus dari kontak dan telekomunikasi.
Brigadir Mallaby keluar dari diskusi (gencatan senjata), berjalan lurus
ke arah kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak kepada
serdadu India untuk menghentikan tembakan. Mereka patuh kepadanya.
Mungkin setengah jam kemudian, massa di alun-alun menjadi bergolak lagi.
Brigadir Mallaby, pada titik tertentu dalam diskusi, memerintahkan
serdadu India untuk menembak lagi. Mereka melepaskan tembakan dengan dua
senapan Bren
dan massa bubar dan lari untuk berlindung; kemudian pecah pertempuran
lagi dengan sungguh gencar. Jelas bahwa ketika Brigadir Mallaby memberi
perintah untuk membuka tembakan lagi, perundingan gencatan senjata
sebenarnya telah pecah, setidaknya secara lokal. Dua puluh menit sampai
setengah jam setelah itu, ia (Mallaby) sayangnya tewas dalam
mobilnya-meskipun (kita) tidak benar-benar yakin apakah ia dibunuh oleh
orang Indonesia yang mendekati mobilnya; yang meledak bersamaan dengan
serangan terhadap dirinya (Mallaby).
Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.
Ultimatum
tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan
rakyat yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan Tentara Keamanan Rakyat
(TKR) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak
organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat,
termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia.
Pada
10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala
besar, yang diawali dengan pengeboman udara ke gedung-gedung
pemerintahan Surabaya, dan kemudian mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang.
Inggris kemudian membombardir kota Surabaya dengan meriam dari laut dan darat.
Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh
kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk. Terlibatnya penduduk
dalam pertempuran ini mengakibatkan setidaknya 6,000 - 16,000 pejuang
dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari
Surabaya. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600 -
2000 tentara. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan
korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh
Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan.
Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada
hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.
C. Pertempuran Ambarawa
Pertempuran
Ambarawa atau yang sering disebut sebagai palagan Ambarawa memang
menarik. Secara singkat, dapat diceritakan bahwa disebut Pertempuran
Ambarawa karena memang terjadinya di kota Ambarawa. Pertempuran itu
sebenarnya sudah diawali sejak Oktober 1945, di mana pada tanggal 20
Oktober 1945 tentara Sekutu mendarat di Semarang di bawah pimpinan
Brigadir Jenderal Bethel
Pada tanggal 20 Oktober 1945,
tentara Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Bethell mendarat di Semarang
dengan maksud mengurus tawanan perang dan tentara Jepang yang berada di
Jawa Tengah. Kedatangan sekutu ini diboncengi oleh NICA. Kedatangan Sekutu ini mulanya disambut baik, bahkan Gubernur Jawa Tengah Mr Wongsonegoro
menyepakati akan menyediakan bahan makanan dan keperluan lain bagi
kelancaran tugas Sekutu, sedang Sekutu berjanji tidak akan mengganggu
kedaulatan Republik Indonesia.
Namun, ketika pasukan Sekutu dan NICA telah sampai di Ambarawa
dan Magelang untuk membebaskan para tawanan tentara Belanda, para
tawanan tersebut malah dipersenjatai sehingga menimbulkan kemarahan
pihak Indonesia. Insiden bersenjata timbul di kota Magelang, hingga terjadi pertempuran. Di Magelang, tentara Sekutu bertindak sebagai penguasa yang mencoba melucuti Tentara Keamanan Rakyat dan membuat kekacauan. TKR Resimen Magelang pimpinan Letkol. M. Sarbini
membalas tindakan tersebut dengan mengepung tentara Sekutu dari segala
penjuru. Namun mereka selamat dari kehancuran berkat campur tangan
Presiden Soekarno
yang berhasil menenangkan suasana. Kemudian pasukan Sekutu secara
diam-diam meninggalkan Kota Magelang menuju ke benteng Ambarawa. Akibat
peristiwa tersebut, Resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan Letkol. M.
Sarbini segera mengadakan pengejaran terhadap mereka. Gerakan mundur
tentara Sekutu tertahan di Desa Jambu karena dihadang oleh pasukan
Angkatan Muda di bawah pimpinan Oni Sastrodihardjo yang diperkuat oleh pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta.
Tentara Sekutu kembali dihadang oleh Batalyon I Soerjosoempeno
di Ngipik. Pada saat pengunduran, tentara Sekutu mencoba menduduki dua
desa di sekitar Ambarawa. Pasukan Indonesia di bawah pimpinan Letkol. Isdiman
berusaha membebaskan kedua desa tersebut, namun ia keburu gugur
terlebih dahulu. Sejak gugurnya Letkol. Isdiman, Komandan Divisi V
Banyumas, Kol. Soedirman
merasa kehilangan seorang perwira terbaiknya dan ia langsung turun ke
lapangan untuk memimpin pertempuran. Kehadiran Kol. Soedirman memberikan
napas baru kepada pasukan-pasukan RI. Koordinasi diadakan di antara
komando-komando sektor dan pengepungan terhadap musuh semakin ketat.
Siasat yang diterapkan adalah serangan pendadakan serentak di semua
sektor. Bala bantuan terus mengalir dari Yogyakarta, Solo, Salatiga, Purwokerto, Magelang, Semarang, dan lain-lain.
Tanggal 23 November 1945
ketika matahari mulai terbit, mulailah tembak-menembak dengan pasukan
Sekutu yang bertahan di kompleks gereja dan kerkhop Belanda di Jl. Margo
Agoeng. Pasukan Indonesia terdiri dari Yon. Imam Adrongi, Yon. Soeharto dan Yon. Soegeng.
Tentara Sekutu mengerahkan tawanan-tawanan Jepang dengan diperkuat
tanknya, menyusup ke tempat kedudukan Indonesia dari arah belakang,
karena itu pasukan Indonesia pindah ke Bedono.
Pada tanggal 11 Desember 1945, Kol. Soedirman mengadakan rapat dengan para Komandan Sektor TKR dan Laskar. Pada tanggal 12 Desember 1945
jam 04.30 pagi, serangan mulai dilancarkan. Pembukaan serangan dimulai
dari tembakan mitraliur terlebih dahulu, kemudian disusul oleh
penembak-penembak karaben. Pertempuran berkobar di Ambarawa. Satu
setengah jam kemudian, jalan raya Semarang-Ambarawa dikuasai oleh
kesatuan-kesatuan TKR. Pertempuran Ambarawa berlangsung sengit. Kol.
Soedirman langsung memimpin pasukannya yang menggunakan taktik gelar supit urang,
atau pengepungan rangkap dari kedua sisi sehingga musuh benar-benar
terkurung. Suplai dan komunikasi dengan pasukan induknya diputus sama
sekali. Setelah bertempur selama 4 hari, pada tanggal 15 Desember 1945 pertempuran berakhir dan Indonesia berhasil merebut Ambarawa dan Sekutu dibuat mundur ke Semarang.
Kemenangan pertempuran ini kini diabadikan dengan didirikannya Monumen Palagan Ambarawa dan diperingatinya Hari Jadi TNI Angkatan Darat atau Hari Juang Kartika.
D. Pertempuran Medan Area
Pada
tanggal 24 Agustus 1945, antara pemerintah Kerajaan Inggris dan
Kerajaan Belanda tercapai suatu persetujuan yang terkenal dengan nama
civil Affairs Agreement. Dalam persetujuan ini disebutkan bahwa panglima
tentara pendudukan Inggris di Indonesia akan memegang kekuasaan atas
nama pemerintah Belanda.
Dalam
melaksanakan hal-hal yang berkenaan dengan pemerintah sipil,
pelaksanaannya diselenggarakan oleh NICA dibawah tanggungjawab komando
Inggris. Kekuasaan itu kelak di kemudian hari akan dikembalikan kepada
Belanda. Inggris dan Belanda membangun rencana untuk memasuki berbagai
kota strategis di Indonesia yang baru saja merdeka. Salah satu kota yang
akan didatangi Inggris dengan “menyelundupkan” NICA Belanda adalah
Medan.
Sementara
di tempat lain pada tanggal 27 Agustus 1945 rakyat Medan baru mendengar
berita proklamasi yang dibawa oleh Mr. Teuku Moh Hassan sebagai
Gubernur Sumatera. Mengggapi berita proklamasi para pemuda dibawah
pimpinan Achmad lahir membentuk barisan Pemuda Indonesia.
Pada
tanggal 9 Oktober 1945 rencana dalam Civil Affairs Agreement
benar-benar dilaksanakan. Tentara Inggris yang diboncengi oleh NICA
mendarat di Medan. Mereka dipimpin oleh Brigjen T.E.D Kelly.
Awalnya
mereka diterima secara baik oleh pemerintah RI di Sumatra Utara
sehubungan dengan tugasnya untuk membebaskan tawanan perang (tentara
Belanda). Sebuah insiden terjadi di hotel Jalan Bali, Medan pada tanggal
13 Oktober 1945.
Saat
itu seorang penghuni hotel (pasukan NICA) merampas dan menginjak-injak
lencana Merah Putih yang dipakai pemuda Indonesia. Hal ini mengundang
kemarahan para pemuda. Akibatnya terjadi perusakan dan penyerangan
terhadap hotel yang banyak dihuni pasukan NICA. Pada tanggal 1 Desember
1945, pihak Sekutu memasang papan-papan yang bertuliskan Fixed
Boundaries Medan Area di berbagai sudut kota Medan.
Sejak
saat itulah Medan Area menjadi terkenal. Pasukan Inggris dan NICA
mengadakan pembersihan terhadap unsur Republik yang berada di kota
Medan. Hal ini jelas menimbulkan reaksi para pemuda dan TKR untuk
melawan kekuatan asing yang mencoba berkuasa kembali. Pada tanggal 10
Agustus 1946 di Tebingtinggi diadakan pertemuan antara komandan-komandan
pasukan yang berjuang di Medan Area. Pertemuan tersebut memutuskan
dibentuknya satu komando yang bernama Komando Resimen Laskar Rakyat
Medan Area.
Pada
tanggal 10 desember 1945, Sekutu dan NICA melancarkan serangan
besar-besaran terhadap kota Medan. Serangan ini menimbulkan banyak
koraban di kedua belah pihak. Pada bulan April 1946, Sekutu berhasil
menduduki kota Medan. Pusat perjuangan rakyat Medan kemudian dipindahkan
ke Pemantangsiantar.
Untuk
melanjutkan perjuangan di Medan maka pada bulan Agustus 1946 dibentuk
Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area. Komandan initerus mengadakan
serangan terhadap Sekutu diwilayah Medan. Hampir di seluruh wilayah
Sumatera terjadi perlawanan rakayat terhadap Jepang, Sekutu, dan
Belanda. Pertempuran itu terjadi, antara lian di Pandang, Bukit tinggi
dan Aceh.
E. Bandung Lautan Api
Peristiwa Bandung Lautan Api adalah peristiwa kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung, provinsi Jawa Barat, Indonesia pada 24 Maret 1946. Dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk Bandung[1] membakar rumah mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda untuk dapat menggunakan kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.
Pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945.
Sejak semula hubungan mereka dengan pemerintah RI sudah tegang. Mereka
menuntut agar semua senjata api yang ada di tangan penduduk, kecuali TKR
dan polisi,
diserahkan kepada mereka. Orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari
kamp tawanan mulai melakukan tindakan-tindakan yang mulai menganggu
keamanan. Akibatnya, bentrokan bersenjata antara Inggris dan TKR tidak
dapat dihindari. Malam tanggal 24 November 1945, TKR dan badan-badan perjuangan melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Homann dan Hotel Preanger
yang mereka gunakan sebagai markas. Tiga hari kemudian, MacDonald
menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar Bandung Utara
dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata.
Ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara Republik Indonesia (TRI, TNI kala itu) meninggalkan kota Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi "bumihangus". Para pejuang pihak Republik Indonesia tidak rela bila Kota Bandung dimanfaatkan oleh pihak Sekutu dan NICA. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, pada tanggal 24 Maret 1946[2]. Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III TRI mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan evakuasi Kota Bandung.[rujukan?]
Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang
meninggalkan kota Bandung dan malam itu pembakaran kota berlangsung.
Bandung
sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat setempat dengan maksud agar Sekutu
tidak dapat menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Di
mana-mana asap hitam mengepul membubung tinggi di udara dan semua
listrik mati. Tentara Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran
sengit terjadi. Pertempuran yang paling besar terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat gudang amunisi besar milik Tentara Sekutu. Dalam pertempuran ini Muhammad Toha dan Ramdan,
dua anggota milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia) terjun dalam misi
untuk menghancurkan gudang amunisi tersebut. Muhammad Toha berhasil
meledakkan gudang tersebut dengan dinamit.
Gudang besar itu meledak dan terbakar bersama kedua milisi tersebut di
dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal
di dalam kota, tetapi demi keselamatan mereka, maka pada pukul 21.00
itu juga ikut dalam rombongan yang mengevakuasi dari Bandung. Sejak saat
itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari
penduduk dan TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota, sehingga
Bandung pun menjadi lautan api.
Pembumihangusan Bandung tersebut dianggap merupakan strategi yang tepat dalam Perang Kemerdekaan Indonesia
karena kekuatan TRI dan milisi rakyat tidak sebanding dengan kekuatan
pihak Sekutu dan NICA yang berjumlah besar. Setelah peristiwa tersebut,
TRI bersama milisi rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar
Bandung. Peristiwa ini mengilhami lagu Halo, Halo Bandung yang nama penciptanya masih menjadi bahan perdebatan.
Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo, Halo Bandung"
secara resmi ditulis, menjadi kenangan akan emosi yang para pejuang
kemerdekaan Republik Indonesia alami saat itu, menunggu untuk kembali ke
kota tercinta mereka yang telah menjadi lautan api.
Latar belakang Bandung Lautan Api, antara lain :
a) Pasukan sekutu Inggris memasuki kota Bandung dan sikap pasukan NICA yang merajalela dengan aksi terornya.
b) Perundingan antara pihak RI dengan Sekutu/NICA, dimana Bandung dibagi dua bagian.
c) Bendungan sungai Cikapundung yang jebol dan menyebabkan banjir besar dalam kota.
d) Keinginan sektu yang menuntut pengosongan sejauh 11km dari Bandung Utara.
F. Pertempuran Margarana
Latar
belakang munculnya puputan Margarana atau pertempuran Margarana sendiri
bermula dari Perundingan Linggarjati. Pada tanggal 10 November 1946,
Belanda melakukan perundingan linggarjati dengan pemerintah Indonesia.
Salah satu isi dari perundingan Linggajati adalah Belanda mengakui
secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang
meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Selanjutnya Belanda diharuskan
sudah meninggalkan daerah de facto paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
Pada tanggal 2 dan 3 Maret 1949 Belanda mendaratkan pasukannya kurang
lebih 2000 tentara di Bali yang diikuti oleh tokoh-tokoh yang memihak
Belanda. Tujuan dari pendaratan Belanda ke Bali sendiri adalah untuk
menegakkan berdirinya Negara Indonesia Timur. Pada waktu itu Letnan
Kolonel I Gusti Ngurah Rai yang menjabat sebagai Komandan Resiman Nusa
Tenggara sedang pergi ke Yogyakarta untuk mengadakan konsultasi dengan
Markas tertinggi TRI, sehingga dia tidak mengetahui tentang pendaratan
Belanda tersebut.
Di
saat pasukan Belanda sudah berhasil mendarat di Bali, perkembangan
politik di pusat Pemerintahan Republik Indonesia kurang menguntungkan
akibat perundingan Linggajati, di mana pulau Bali tidak diakui sebagai
bagian wilayah Republik Indonesia. Pada umumnya Rakyat Bali sendiri
merasa kecewa terhadap isi perundingan tersebut karena mereka merasa
berhak masuk menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Terlebih lagi ketika Belanda berusaha membujuk Letnan Kolonel I
Gusti Ngurah Rai untuk diajak membentuk Negara Indonesia Timur. Untung
saja ajakan tersebut ditolak dengan tegas oleh I Gusti Ngurah Rai,
bahkan dijawab dengan perlawanan bersenjata Pada tanggal 18 November
1946. Pada saat itu I Gusti Ngurah Rai bersama pasukannya Ciung Wanara
Berhasil memperoleh kemenangan dalam penyerbuan ke tangsi NICA di
Tabanan. Karena geram, kemudian Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya
di Bali dan Lombok untuk menghadapi perlawanan I Gusti Ngurah Rai dan
Rakyat Bali. Selain merasa geram terhadap kekalahan pada pertempuran
pertama, ternyata pasukan Belanda juga kesal karena adanya konsolidasi
dan pemusatan pasukan Ngurah Rai yang ditempatkan di Desa Adeng,
Kecamatan Marga, Tabanan, Bali. Setelah berhasil mengumpulkan pasukannya
dari Bali dan Lombok, kemudian Belanda berusaha mencari pusat kedudukan
pasukan Ciung Wanara.
Pada
tanggal 20 November 1946 I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya (Ciung
Wanara), melakukan longmarch ke Gunung Agung, ujung timur Pulau Bali.
Tetapi tiba-tiba di tengah perjalanan, pasukan ini dicegat oleh serdadu
Belanda di Desa Marga, Tabanan, Bali.
Tak
pelak, pertempuran sengit pun tidak dapat diindahkan. Sehingga sontak
daerah Marga yang saat itu masih dikelilingi ladang jagung yang tenang,
berubah menjadi pertempuran yang menggemparkan dan mendebarkan bagi
warga sekitar. Bunyi letupan senjata tiba-tiba serentak mengepung ladang
jagung di daerah perbukitan yang terletak sekitar 40 kilometer dari
Denpasar itu.
Pasukan
pemuda Ciung Wanara yang saat itu masih belum siap dengan
persenjataannya, tidak terlalu terburu-buru menyerang serdadu Belanda.
Mereka masih berfokus dengan pertahanannya dan menunggu komando dari I
Gusti Ngoerah Rai untuk membalas serangan. Begitu tembakan tanda
menyerang diletuskan, puluhan pemuda menyeruak dari ladang jagung dan
membalas sergapan tentara Indische Civil Administration (NICA) bentukan
Belanda. Dengan senjata rampasan, akhirnya Ciung Wanara berhasil memukul
mundur serdadu Belanda.
Namun
ternyata pertempuran belum usai. Kali ini serdadu Belanda yang sudah
terpancing emosi berubah menjadi semakin brutal. Kali ini, bukan hanya
letupan senjata yang terdengar, namun NICA menggempur pasukan muda I
Gusti Ngoerah Rai ini dengan bom dari pesawat udara. Hamparan sawah dan
ladang jagung yang subur itu kini menjadi ladang pembantaian penuh asap
dan darah.
Perang
sampai habis atau puputan inilah yang kemudian mengakhiri hidup I Gusti
Ngurah Rai. Peristiwa inilah yang kemudian dicatat sebagai peristiwa
Puputan Margarana. Malam itu pada 20 November 1946 di Marga adalah
sejarah penting tonggak perjuangan rakyat di Indonesia melawan kolonial
Belanda demi Nusa dan Bangsa.
G. Pertempuran Laut Aru
Pertempuran Laut Aru adalah suatu pertempuran yang terjadi di Laut Aru, Maluku, pada tanggal 15 Januari 1962 antara Indonesia dan Belanda. Insiden ini terjadi sewaktu dua kapal jenis destroyer, pesawat jenis Neptune dan Frely milik Belanda menyerang RI Matjan Tutul (650), RI Matjan Kumbang (653) dan RI Harimau (654) milik Indonesia yang sedang berpatroli pada posisi 04,49° LS dan 135,02° BT. Komodor Yos Sudarso gugur pada pertempuran ini setelah menyerukan pesan terakhirnya yang terkenal, "Kobarkan semangat pertempuran".
Peristiwa
Aru bermula dari suatu operasi rahasia untuk menyusupkan sukarelawan
suku Irian yang telah dilatih oleh TNI-AD ke Irian Barat. Komando
Trikora memang sudah terbentuk, namun misi tersebut dilaksanakan bukan
dalam konteks operasi gabungan. Komando berdiri sendiri sebagai task
force dengan misi tertentu.
Hampir
semua kekuatan yang akan dilibatkan dalam Operasi Trikora belum siap.
Bahkan semua kekuatan udara masih stand by di Jawa. Namun ternyata
Angkatan Darat telah mendahului dengan melakukan penyusupan sukarelawan.
Untuk melaksanakan misi itu, AD minta bantuan ALRI untuk mengangkut
pasukan dari Jakarta menuju pantai Irian. Sedangkan AURI hanya diminta
mengerahkan dua pesawat Hercules untuk mengangkut pasukan dari Jakarta
menuju target yang nantinya ditentukan oleh ALRI.
Karena
misi itu sangat rahasia, di Mabes AURI hanya beberapa petinggi yang
mengetahui. Walaupun nyatanya tidak rumit, hanya mengangkut pasukan ke
sebuah pangkalan di dalam negeri dengan terbang rendah. Batas tugas AURI
hanya memindahkan pasukan dengan Hercules, selebihnya tidak menjadi
tanggung jawab Mabes AURI.
Pada
12 Januari 1962, pasukan berhasil didaratkan di Letfuan. Kedua Hercules
kembali ke pangkalan, dan AURI pun menjalankan tugas rutinnya. Namun
tanggal 18 Januari muncul situasi yang kurang mengenakkan, saat ada
pimpinan angkatan lain melapor ke Bung Karno bahwa tiadanya perlindungan
dari AURI telah menyebabkan sebuah operasi gagal. Sampai saat itu pihak
AURI belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Ternyata
pada 15 Januari telah terjadi kontak senjata antara armada ALRI dengan
AL Belanda di Laut Aru yang menyebabkan gugurnya Komodor Yos Sudarso dan
prajurit-prajurit ALRI lainnya. Kalau dikatakan AURI tidak melindungi
kapal beserta para prajurit ALRI, bukankah tugas AURI hanya mengangkut
pasukan dengan dua Hercules dalam operasi penyusupan ke Irian?
Tidak
ada kesalahan dalam peristiwa itu, namun AURI disalahkan. Padahal
mereka yang tahu rumitnya mengkoordinasikan operasi udara, apalagi
dengan pengeboman untuk melindungi kapal perang, pasti akan berpikir
seratus kali lipat untuk menudingkan kesalahan seperti itu. Tapi
begitulah. Orang yang tidak tahu, dan tidak mau tahu, telah menudingkan
kesalahan – dan pemegang kekuasaan tertinggi pun membenarkan.
Hari
H untuk pelaksanaan operasi penyusupan adalah Senin, 15 Januari 1962.
Pada H minus tiga (-3), semua kapal ALRI telah merapat di rendezvous
point di sebuah pulau di Kepulauan Aru. Pasukan yang sudah diturunkan
dari Hercules AURI juga sudah diangkut kapal dari Letfuan menuju pulau
tersebut. Pada hari pertama di titik itu, pesawat-pesawat Belanda sudah
datang mengintai. Hal yang sama terjadi pada H -2 dan H -1.
Hari
H pukul 17.00 waktu setempat, tiga kapal mulai bergerak. KRI Harimau
berada di depan, membawa antara lain Kol. Sudomo, Kol. Mursyid, dan
Kapten Tondomulyo. Di belakangnya adalah KRI Macan Tutul yang dinaiki
Komodor Yos Sudarso. Sedangkan di belakang adalah KRI Macan Kumbang.
Menjelang
pukul 21.00, Kol. Mursyid melihat radar blips pada lintasan depan yang
akan dilewati iringan tiga kapal itu. Dua di sebelah kanan dan satu di
kiri. Blips tersebut tidak bergerak, menandakan kapal-kapal sedang
berhenti. Ketiga KRI kemudian melaju. Tiba-tiba terdengar dengung
pesawat mendekat, lalu menjatuhkan flare yang tergantung pada parasut.
Keadaan tiba-tiba menjadi terang-benderang, dalam waktu cukup lama. Tiga
kapal Belanda yang berukuran lebih besar ternyata sudah menunggu
kedatangan ketiga KRI. Kapal Belanda melepaskan tembakan peringatan yang
jatuh di samping KRI Harimau. Kol. Sudomo memerintahkan untuk balas
menembak namun tidak mengenai sasaran. Komodor Yos Sudarso memerintahkan
ketiga KRI untuk kembali. Ketiga kapal pun serentak membelok 180o.
Naas, KRI Macan Tutul macet dan terus membelok ke kanan. Kapal-kapal
Belanda mengira manuver berputar itu untuk menyerang mereka. Sehingga
mereka langsung menembaki kapal itu. Tembakan pertama meleset, namun
tembakan kedua tepat mengenai KRI Macan Tutul. Menjelang tembakan telak
menghantam kapal, Komodor Yos Sudarso meneriakkan perintah, “Kobarkan
semangat pertempuran!”
AURI
berada dalam kondisi ditekan karena misi yang gagal itu. Orang mengira,
kekuatan AURI mampu melayang-layang selamanya di udara dan mengawasi
setiap jengkal wilayah RI. Negara superpower seperti AS pun tidak akan
bisa melakukannya di era itu, apalagi kita. Bagaimana pesawat terbang
melaksanakan misi bantuan serangan udara tanpa ada koordinasi
sebelumnya? Bahkan operasi itu sendiri tidak pernah dibicarakan dengan
pimpinan AURI. Namun saat gagal, kesalahan ditimpakan ke pihak AURI.
Untuk mengakhiri polemik, KSAU Suryadarma mengundurkan diri pada 19
Januari 1962. AURI pun berduka cita.
Hari
Sabtu, 20 Januari 1962, diadakan rapat di Istana Bogor yang dipimpin
oleh Bung Karno, untuk mengangkat Laksamana Muda Omar Dhani sebagai KSAU
yang baru. Setelah itu langsung diadakan brifing mengenai peristiwa
Aru. Kolonel Mursyid sebagai komandan tim juga sudah kembali untuk
memberikan paparan. Begitu paparan selesai, suasana di ruang rapat yang
terletak di sayap kiri Istana Bogor itu jadi mencekam, serius, sepi, dan
semua diam. Seakan-akan menikmati rasa kemenangan dan kepahlawanan. Yos
Sudarso gugur, operasi gagal, namun dinilai heroik.
Peristiwa
Aru kemudian berlalu begitu saja. Sampai saatnya nanti orang bisa
menilai, pengorbanan batin para pimpinan AURI di masa itu adalah wujud
nyata sikap tertinggi dalam disiplin prajurit, yaitu loyalitas.
H. Tindakan Heroik Di Yogyakarta
Pada
tanggal 26 September 1945 terjadi perebutan kekuasaan dan para pegawai
negeri semua mogok karena peristiwa ini. Sejak pukul 10.00, mereka mogok
bekerja dan memaksa Jepang untuk menyerahkan semua kantor Jepang ke
Indonesia. Diperkuat oleh pengumuman oleh KNI DI Yogyakarta pada 26
September 1945 bahwa kekuasaan di daerah itu sekarang berada di tangan
pemerintah RI. Kemudian terjadilah demo dan para pemuda berusaha untuk
merebut senjata dan peralatan perang, sedapat mungkin tanpa melalui
jalan kekerasan. Tapi karena usaha perundingan gagal, pada 1 Oktober
malam, para pemuda, BKR dan kepolisian menyerbu Tansi Otsuka Butai yang berada di kota baru. Malam itu juga Otsuka Butai menyerah setelah 18 orang pemuda polisi gugur.
Serangan Umum 1 Maret 1949 dilakukan terhadap kota Yogyakarta
secara secara besar-besaran yang direncanakan dan dipersiapkan oleh
jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan
mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat
berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman,
untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI - berarti juga
Republik Indonesia - masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian
dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang
berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan tujuan utama untuk mematahkan
moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai komandan brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.
I. Peristiwa 11 Nopember 1946 di Sulawesi Selatan
Pada
saat Belanda (Mayjend Van Mook) sedang mengadakan Konferensi Denpasar
dalam rangka pembentukan negara Indonesia Timur dan negara-negara boneka
lainnya, pada tanggal 11 Desember 1946 Belanda mengumumkan bahwa
Sulawesi berada dalam status darurat perang dan hukum militer (akibat
dari penolakan rakyat terhadap rencana (pembentukan Negara Indonesia
Timur). Rakyat Sulawesi Selatan yang diangap menolak atau tidak
setuju/menentang rencana tersebut dibantai habis oleh pasukan Belanda
pimpinan Raymond Westerling yang mengakibatkan lebih dari 40.000 jiwa
rakyat Sulawesi meninggal. Robert Wolter Monginsidi dan Andi Matalatta
yang memimpin pasukan untuk melawan kebiadaban Belanda akhirnya
tertangkap dan dijatuhi hukuman mati.
J. Tindakan Heroik Di Aceh
Di
Aceh terjadi sebuah pertempuran besar. Pertempuran tersebut terjadi
karena pembentukan Organisasi yang dibentuk oleh para pemuda pada
tanggal 6 oktober 1945 yang diberi nama Angkatan Pemuda Indonesia (API),
namun seminggu berdirinya organisasi tersebut kemudian jepang melarang
berdirinya Organisasi tersebut. Walaupun dipakasa untuk membubarkan API,
tapi para pemuda menolak dengan keras dan timbullah pertempuran. Para
pemuda melucuti senjata Jepang. Selain itu, para pemuda juga mengambil
alih kantor-kantor pemerintah Jepang dan mengibarkan bendera merah
putih.
K. Tindakan Heroik Di Palembang
Di
Palembang pada 8 Oktober 1945 Dr.A.K.Gani memimpin rakyat mengadakan
upacar pengibarab Bendera Merah-Putih. Perekutan kekuasaan di Plembnag
dilakukan tanpa Insiden. Pihak Jepang berusaha menghindari pertempuran.
L. Tindakan Heroik Di Kalimantan
Di
Kalimantan dukungan Proklamasi Kemerdekaan dilakukan dengan
berdemokrasi, pengibaran Bendera Merah-Putih dan mengadakan rapat-rapat.
Pada 14 November 1945 dengan beraninya sekitar 8000 orang berkumpul di
komplek NICA dengan mengarak Bendera Merah-Putih.
M. Peristiwa Merah Putih di Manado
Peristiwa
ini terjadi pada tanggal 14 februari 1946 di Manado. Para pemuda Manado
bersama laskar rakyat dari barisan pejuang melakukan perebutan
kekuasaan pemerintahan di Manado, Tomohon, dan Minahasa. Sekitar 600
orang pasukan dan pejabat Belanda berhasil ditahan.
Adapun
latar belakang dari peristiwa ini yaitu keinginan pemuda untuk merebut
kembali kekuasan di seluruh Manado yang berada di tangan Belanda.
N. Tindakan Heroik di Nusa Tenggara
Di
Nusa tenggara juga dilakukan usaha perebutan kekuasaan dari sekutu.
Rakyat tetap mengibarkan bendera merah putih dan memakai Lencana Merah.
O. Tindakan Heroik di Papua
Pada
tanggal 14 Maret 1948 para pemuda papua menyerang NICA dan Tangsi
Sorido. Namn serangan itu gagal dan dua orang pemimpinnya dibunuh dan
yang lainnya dipenjara seumur hidup.
P. Tindakan Heroik di Padang dan Bukit Tinggi
Di
padang dan bukit tinggi dibentuk balai penerangan pemuda indonesia dan
pemuda republik indonesia. Kedua organisasi pejuang iitu memelopori
pembentukan BKR dan komite nasional Indonesia.
Q. Tindakan Heroik di Surakarta
Terjadi pertempuran rakyat dengan Jepang di markas Kempeitai. Dalam pertempuran gugur pemuda Arifin.
R. Tindakan Heroik di pulau Sumbawa
Pada Bulan Desember 1945, para pemuda berusaha merebut senjata dari jepang dan bentrokan terjadi di Gempe dan di Sape.
S. Tindakan Heroik di Lampung
BKR dan para pemuda berhasil melucuti senjata Jepang di Teluk Betung, Kalianda dan Manggala.Sabtu, 04 Februari 2012
Peristiwa-Peristiwa Heroik Setelah Kemerdekaan
Pada
1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari
kemudian, tepatnya, 8 Maret, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa
syarat kepada Jepang. Sejak itu, Indonesia diduduki oleh Jepang.
Tiga
tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah
dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki.
Peristiwa itu terjadi pada 6 dan 9 Agustus 1945. Mengisi kekosongan
tersebut, Indonesia kemudian memproklamirkan kemerdekaannya pada 17
Agustus 1945.
Menyerahnya
Jepang kepada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945 membawa hikmah yang
sangat besar kepada perkembangan bangsa Indonesia sebagai sebuah Negara
yanag berdaulat. “Vacuum of Power”, yaitu kekosongan kekuasaan yang
terjadi di Indonesia dapat dimanfaatkan oleh para “Founding fathers”
untuk memproklamasikan
kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan dilanjutkan dengan upaya
melengkapi kelengkapan Negara melalui sidang PPKI tanggal 18, 19 dan 22
Agustus 1945. Maka lengkap dan sah lah Indonesia sebagai sebuah Negara
berdaulat dengan nama Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan
menyerahnya Jepang terhadap Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945, dan
disusul dengan diproklamarkan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, maka
seharusnya tamatlah kekuasaan Jepang di Indonesia. Akan tetapi setelah
kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti
senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang
memakan korban di banyak daerah.
Berikut
ini adalah daftar-daftar peristiwa heroic yang ada di Indonesia setelah
proklamasi kemerdekaan Indonesia di kumandangkan.
A. Pertempuran Lima Hari di Semarang
Pertempuran
5 Hari atau Pertempuran 5 Hari di Semarang adalah serangkaian
pertempuran antara rakyat Indonesia di Semarang melawan Tentara Jepang.
Pertempuran ini adalah perlawanan terhebat rakyat Indonesia terhadap
Jepang pada masa transisi (bedakan dengan Peristiwa 10 November -
perlawanan terhebat rakyat Indonesia dalam melawan sekutu dan Belanda).
Pertempuran ini dimulai pada tanggal 15 Oktober 1945 (walau kenyataannya
suasana sudah mulai memanas sebelumnya) dan berakhir tanggal 20 Oktober
1945.
Berita
Proklamasi dari Jakarta akhirnya sampai ke Semarang. Seperti kota-kota
lain, di Semarang pun rakyat khususnya pemuda berusaha untuk melucuti
senjata Tentara Jepang Kidobutai yang bermarkas di Jatingaleh. Pada
tanggal 13 Oktober, suasana semakin mencekam, Tentara Jepang semakin
terdesak. Tanggal 14 Oktober, Mayor Kido menolak penyerahan senjata sama
sekali. Para pemuda pun marah dan rakyat mulai bergerak
sendiri-sendiri. Aula Rumah Sakit Purusara dijadikan markas perjuangan.
Para pemuda rumah sakit pun tidak tinggal diam dan ikut aktif dalam
upaya menghadapi Jepang. Sementara itu taktik perjuangan pemuda
menggunakan taktik gerilya.
Setelah
pernyataan Mayor Kido, Pada Minggu, 14 Oktober 1945, pukul 6.30 WIB,
pemuda-pemuda rumah sakit mendapat instruksi untuk mencegat dan
memeriksa mobil Jepang yang lewat di depan RS Purusara. Mereka menyita
sedan milik Kempetai dan merampas senjata mereka. Sore harinya, para
pemuda ikut aktif mencari tentara Jepang dan kemudian menjebloskannya ke
Penjara Bulu. Sekitar pukul 18.00 WIB, pasukan Jepang bersenjata
lengkap melancarkan serangan mendadak sekaligus melucuti delapan anggota
polisi istimewa yang waktu itu sedang menjaga sumber air minum bagi
warga Kota Semarang Reservoir Siranda di Candilama. Kedelapan anggota
Polisi Istimewa itu disiksa dan dibawa ke markas Kidobutai di
Jatingaleh. Sore itu tersiar kabar tentara Jepang menebarkan racun ke
dalam reservoir itu. Rakyat pun menjadi gelisah.
Selepas
Magrib, ada telepon dari pimpinan Rumah Sakit Purusara, yang
memberitahukan agar dr. Kariadi, Kepala Laboratorium Purusara segera
memeriksa Reservoir Siranda karena berita Jepang menebarkan racun itu.
Dokter Kariadi kemudian dengan cepat memutuskan harus segera pergi ke
sana. Suasana sangat berbahaya karena tentara Jepang telah melakukan
serangan di beberapa tempat termasuk di jalan menuju ke Reservoir
Siranda. Isteri dr. Kariadi, drg. Soenarti mencoba mencegah suaminya
pergi mengingat keadaan yang sangat genting itu. Namun dr. Kariadi
berpendapat lain, ia harus menyelidiki kebenaran desas-desus itu karena
menyangkut nyawa ribuan warga Semarang. Akhirnya drg. Soenarti tidak
bisa berbuat apa-apa. Ternyata dalam perjalanan menuju Reservoir Siranda
itu, mobil yang ditumpangi dr. Kariadi dicegat tentara Jepang di Jalan
Pandanaran. Bersama tentara pelajar yang menyopiri mobil yang
ditumpanginya, dr. Kariadi ditembak secara keji. Ia sempat dibawa ke
rumah sakit sekitar pukul 23.30 WIB. Ketika tiba di kamar bedah, keadaan
dr. Kariadi sudah sangat gawat. Nyawa dokter muda itu tidak dapat
diselamatkan. Ia gugur dalam usia 40 tahun satu bulan.
Sekitar
pukul 3.00 WIB, 15 Oktober 1945, Mayor Kido memerintahkan sekitar 1.000
tentaranya untuk melakukan penyerangan ke pusat Kota Semarang.
Sementara itu, berita gugurnya dr. Kariadi yang dengan cepat tersebar,
menyulut kemarahan warga Semarang. Hari berikutnya, pertempuran meluas
ke berbagai penjuru kota. Korban berjatuhan di mana-mana. Pada 17
Oktober 1945, tentara Jepang meminta gencatan senjata, namun diam-diam
mereka melakukan serangan ke berbagai kampung. Pada 19 Oktober 1945,
pertempuran terus terjadi di berbagai penjuru Kota Semarang. Pertempuran
ini berlangsung lima hari dan memakan korban 2.000 orang Indonesia dan
850 orang Jepang. Di antara yang gugur, termasuk dr. Kariadi dan delapan
karyawan RS Purusara.
Berdasarkan kejadiannya, kronologis pertempuran lima hari di Semarang dapat dijabarkan sebagai berikut :
a) 7
Oktober : Pemuda Semarang berusaha melucuti senjata Tentara Jepang di
Jatingaleh. Sementara di saat yang sama, pimpinan Jepang dan pemuda
berunding mengenai penyerahan senjata.
b) 13 Oktober : Suasana semakin menegang dan Jepang semakin terdesak.
c) 14
Oktober : Mayor Kido menolak penyerahan senjata. Pukul 06.30, Aula RS
Purusara dijadikan markas perjuangan dan pemuda mencegat serta memeriksa
mobil Jepang yang lewat. Mereka juga menyita sedan milik Kampetai. Sore
harinya, pemuda menjebloskan Tentara Jepang ke Penjara Bulu namun pukul
18.00 Jepang melancarkan serangan mendadak kepada delapan polisi
istimewa yang menjaga Resevoir Siranda di Candi. Kedelapan Polisi itu
disiksa dan sore itu juga tersiatr kabar kalau Jepang menebar racun
dalam reservoir tersebut. Selepas Maghrib, dr. Kariadi memutuskan untuk
segera memeriksa reservoir itu namun istrinya, drg. Sonarti, mencoba
mencegahnya karena ia berpendapat bahwa suasana sedang sangat berbahaya
namun tidak berhasil. Sayangnya, dalam perjalanan dr. Kariadi dan
beberapa tentara pelajar, mereka ditembak secara keji. Dr. kariadi
sempat dibawa ke rumah sakit sekitar namun tidak dapat diselamatkan.
Selain kejadian di atas, pada hari itu juga terjadi pemberontakan 4.000
tentara Jepang di Cepiring.
d) 15
Oktober: Pukul 03.00, Mayor Kido menyuruh 1.000 tentara untuk melakukan
penyerangan ke pusat kota mendengar berita penangjkapann Jenderal
Nakamura dan berita gugurnya dr. Kariadi menyulut kemarahan warga
Semarang. Di Semarang juga terjadi penangkapan Mr. Wongsonegoro, Dr.
Sukaryo, dan Sudanco Mirza Sidharta.
e) 16 Oktober : Pertempuran terus berlanjut
f) 17 Oktober : Jepang berunding dengan Mr. Wongsonegoro
g) 18
Oktober : Ada perundingan gencatan senjata oleh KAsman Singodimejo dan
Jenderal Nakamura. Dalam perundingan ini, Jepang ingin agar senjata yang
direbut segera dikembalikan bila tidak Jepang akan meloakukan
pengeboman pada tanggal 19 Oktober 1945 pukul 10.00.
h) 19
oktober : Pukul 07.45, kedatangan Sekutu di pelabuhan Semarang dengan
kapal HMS Glenry mempercepat perdamaian antara Jepang dan rakyat
sehingga perang berakhir.
Mengenai pertempuran lima hari di Semarang ini, ada beberapa tokoh yang terlbat adalah sbb :
a) dr.
Kariadi dr. Kariadi adalah dokter yang akan mengecek cadangan air minum
di daerah Candi yang kabarnya telah diracuni oleh Jepang. Beliau juga
merupakan Kepala Laboratorium Dinas Pusat Purusara.
b) Mr. Wongsonegoro Gubernur Jawa Tengah yang sempat ditahan oleh Jepang.
c) Dr. Sukaryo dan Sudanco Mirza Sidharta tokoh Indonesia yang ditangkap oleh Jepang betrsama Mr. Wongsonegoro.
d) Mayor Kido Pimpinan Batalion Kido Butai yang berpusat di Jatingaleh.
e) drg. Soenarti istri dr. kariadi.
f) Kasman Singodimejo perwakilan perundingan gencatan senjata dari Indonesia.
g) Jenderal Nakamura Jenderal yang ditangkap oleh TKR di Magelang
Untuk
memperingati Pertempuran 5 Hari di Semarang, dibangun Tugu Muda sebagai
monumen peringatan. Tugu Muda ini dibangun pada tanggal 10 November
1950. Diresmikan oleh presiden Ir. Soekarno pada tanggal 20 Mei 1953.
Bangunan ini terletak di kawasan yang banyak merekam peristiwa penting
selama lima hari pertempuran di Semarang, yaitu di Jl. Pemuda, Jl. Imam
Bonjol, Jl. Dr. Sutomo, dan Jl. Pandanaran dengan lawang sewu. Selain
pembangunan Tugu Muda, Nama dr. Kariadi diabadikan sebagai nama salah
satu rumah sakit di Semarang
B. Pertempuran Surabaya
Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di Kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.
Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih
dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran
bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks
gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan
bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada sore hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda
(Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di
tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan
harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka
menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak
mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan
pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.
Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Soedirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu,
sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang
melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan
Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan
kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari
gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk
menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk mengakui kedaulatan
Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol,
dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas
dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang
berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Soedirman
dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda
berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono
yang semula bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam
pemanjatan tiang bendera dan bersama Koesno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945
meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris
. Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi
serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak
Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.
Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945,
keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi
bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di
Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak
dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah
Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris
marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti
Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.
Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris (Labour Party). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen Inggris (House of Commons)
meragukan bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia.
Dia menyampaikan bahwa peristiwa baku tembak ini disinyalir kuat timbul
karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang
memulai baku tembak tersebut tidak mengetahui bahwa gencatan senjata
sedang berlaku karena mereka terputus dari kontak dan telekomunikasi.
Brigadir Mallaby keluar dari diskusi (gencatan senjata), berjalan lurus
ke arah kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak kepada
serdadu India untuk menghentikan tembakan. Mereka patuh kepadanya.
Mungkin setengah jam kemudian, massa di alun-alun menjadi bergolak lagi.
Brigadir Mallaby, pada titik tertentu dalam diskusi, memerintahkan
serdadu India untuk menembak lagi. Mereka melepaskan tembakan dengan dua
senapan Bren
dan massa bubar dan lari untuk berlindung; kemudian pecah pertempuran
lagi dengan sungguh gencar. Jelas bahwa ketika Brigadir Mallaby memberi
perintah untuk membuka tembakan lagi, perundingan gencatan senjata
sebenarnya telah pecah, setidaknya secara lokal. Dua puluh menit sampai
setengah jam setelah itu, ia (Mallaby) sayangnya tewas dalam
mobilnya-meskipun (kita) tidak benar-benar yakin apakah ia dibunuh oleh
orang Indonesia yang mendekati mobilnya; yang meledak bersamaan dengan
serangan terhadap dirinya (Mallaby).
Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.
Ultimatum
tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan
rakyat yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan Tentara Keamanan Rakyat
(TKR) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak
organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat,
termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia.
Pada
10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala
besar, yang diawali dengan pengeboman udara ke gedung-gedung
pemerintahan Surabaya, dan kemudian mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang.
Inggris kemudian membombardir kota Surabaya dengan meriam dari laut dan darat.
Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh
kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk. Terlibatnya penduduk
dalam pertempuran ini mengakibatkan setidaknya 6,000 - 16,000 pejuang
dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari
Surabaya. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600 -
2000 tentara. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan
korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh
Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan.
Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada
hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.
C. Pertempuran Ambarawa
Pertempuran
Ambarawa atau yang sering disebut sebagai palagan Ambarawa memang
menarik. Secara singkat, dapat diceritakan bahwa disebut Pertempuran
Ambarawa karena memang terjadinya di kota Ambarawa. Pertempuran itu
sebenarnya sudah diawali sejak Oktober 1945, di mana pada tanggal 20
Oktober 1945 tentara Sekutu mendarat di Semarang di bawah pimpinan
Brigadir Jenderal Bethel
Pada tanggal 20 Oktober 1945,
tentara Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Bethell mendarat di Semarang
dengan maksud mengurus tawanan perang dan tentara Jepang yang berada di
Jawa Tengah. Kedatangan sekutu ini diboncengi oleh NICA. Kedatangan Sekutu ini mulanya disambut baik, bahkan Gubernur Jawa Tengah Mr Wongsonegoro
menyepakati akan menyediakan bahan makanan dan keperluan lain bagi
kelancaran tugas Sekutu, sedang Sekutu berjanji tidak akan mengganggu
kedaulatan Republik Indonesia.
Namun, ketika pasukan Sekutu dan NICA telah sampai di Ambarawa
dan Magelang untuk membebaskan para tawanan tentara Belanda, para
tawanan tersebut malah dipersenjatai sehingga menimbulkan kemarahan
pihak Indonesia. Insiden bersenjata timbul di kota Magelang, hingga terjadi pertempuran. Di Magelang, tentara Sekutu bertindak sebagai penguasa yang mencoba melucuti Tentara Keamanan Rakyat dan membuat kekacauan. TKR Resimen Magelang pimpinan Letkol. M. Sarbini
membalas tindakan tersebut dengan mengepung tentara Sekutu dari segala
penjuru. Namun mereka selamat dari kehancuran berkat campur tangan
Presiden Soekarno
yang berhasil menenangkan suasana. Kemudian pasukan Sekutu secara
diam-diam meninggalkan Kota Magelang menuju ke benteng Ambarawa. Akibat
peristiwa tersebut, Resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan Letkol. M.
Sarbini segera mengadakan pengejaran terhadap mereka. Gerakan mundur
tentara Sekutu tertahan di Desa Jambu karena dihadang oleh pasukan
Angkatan Muda di bawah pimpinan Oni Sastrodihardjo yang diperkuat oleh pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta.
Tentara Sekutu kembali dihadang oleh Batalyon I Soerjosoempeno
di Ngipik. Pada saat pengunduran, tentara Sekutu mencoba menduduki dua
desa di sekitar Ambarawa. Pasukan Indonesia di bawah pimpinan Letkol. Isdiman
berusaha membebaskan kedua desa tersebut, namun ia keburu gugur
terlebih dahulu. Sejak gugurnya Letkol. Isdiman, Komandan Divisi V
Banyumas, Kol. Soedirman
merasa kehilangan seorang perwira terbaiknya dan ia langsung turun ke
lapangan untuk memimpin pertempuran. Kehadiran Kol. Soedirman memberikan
napas baru kepada pasukan-pasukan RI. Koordinasi diadakan di antara
komando-komando sektor dan pengepungan terhadap musuh semakin ketat.
Siasat yang diterapkan adalah serangan pendadakan serentak di semua
sektor. Bala bantuan terus mengalir dari Yogyakarta, Solo, Salatiga, Purwokerto, Magelang, Semarang, dan lain-lain.
Tanggal 23 November 1945
ketika matahari mulai terbit, mulailah tembak-menembak dengan pasukan
Sekutu yang bertahan di kompleks gereja dan kerkhop Belanda di Jl. Margo
Agoeng. Pasukan Indonesia terdiri dari Yon. Imam Adrongi, Yon. Soeharto dan Yon. Soegeng.
Tentara Sekutu mengerahkan tawanan-tawanan Jepang dengan diperkuat
tanknya, menyusup ke tempat kedudukan Indonesia dari arah belakang,
karena itu pasukan Indonesia pindah ke Bedono.
Pada tanggal 11 Desember 1945, Kol. Soedirman mengadakan rapat dengan para Komandan Sektor TKR dan Laskar. Pada tanggal 12 Desember 1945
jam 04.30 pagi, serangan mulai dilancarkan. Pembukaan serangan dimulai
dari tembakan mitraliur terlebih dahulu, kemudian disusul oleh
penembak-penembak karaben. Pertempuran berkobar di Ambarawa. Satu
setengah jam kemudian, jalan raya Semarang-Ambarawa dikuasai oleh
kesatuan-kesatuan TKR. Pertempuran Ambarawa berlangsung sengit. Kol.
Soedirman langsung memimpin pasukannya yang menggunakan taktik gelar supit urang,
atau pengepungan rangkap dari kedua sisi sehingga musuh benar-benar
terkurung. Suplai dan komunikasi dengan pasukan induknya diputus sama
sekali. Setelah bertempur selama 4 hari, pada tanggal 15 Desember 1945 pertempuran berakhir dan Indonesia berhasil merebut Ambarawa dan Sekutu dibuat mundur ke Semarang.
Kemenangan pertempuran ini kini diabadikan dengan didirikannya Monumen Palagan Ambarawa dan diperingatinya Hari Jadi TNI Angkatan Darat atau Hari Juang Kartika.
D. Pertempuran Medan Area
Pada
tanggal 24 Agustus 1945, antara pemerintah Kerajaan Inggris dan
Kerajaan Belanda tercapai suatu persetujuan yang terkenal dengan nama
civil Affairs Agreement. Dalam persetujuan ini disebutkan bahwa panglima
tentara pendudukan Inggris di Indonesia akan memegang kekuasaan atas
nama pemerintah Belanda.
Dalam
melaksanakan hal-hal yang berkenaan dengan pemerintah sipil,
pelaksanaannya diselenggarakan oleh NICA dibawah tanggungjawab komando
Inggris. Kekuasaan itu kelak di kemudian hari akan dikembalikan kepada
Belanda. Inggris dan Belanda membangun rencana untuk memasuki berbagai
kota strategis di Indonesia yang baru saja merdeka. Salah satu kota yang
akan didatangi Inggris dengan “menyelundupkan” NICA Belanda adalah
Medan.
Sementara
di tempat lain pada tanggal 27 Agustus 1945 rakyat Medan baru mendengar
berita proklamasi yang dibawa oleh Mr. Teuku Moh Hassan sebagai
Gubernur Sumatera. Mengggapi berita proklamasi para pemuda dibawah
pimpinan Achmad lahir membentuk barisan Pemuda Indonesia.
Pada
tanggal 9 Oktober 1945 rencana dalam Civil Affairs Agreement
benar-benar dilaksanakan. Tentara Inggris yang diboncengi oleh NICA
mendarat di Medan. Mereka dipimpin oleh Brigjen T.E.D Kelly.
Awalnya
mereka diterima secara baik oleh pemerintah RI di Sumatra Utara
sehubungan dengan tugasnya untuk membebaskan tawanan perang (tentara
Belanda). Sebuah insiden terjadi di hotel Jalan Bali, Medan pada tanggal
13 Oktober 1945.
Saat
itu seorang penghuni hotel (pasukan NICA) merampas dan menginjak-injak
lencana Merah Putih yang dipakai pemuda Indonesia. Hal ini mengundang
kemarahan para pemuda. Akibatnya terjadi perusakan dan penyerangan
terhadap hotel yang banyak dihuni pasukan NICA. Pada tanggal 1 Desember
1945, pihak Sekutu memasang papan-papan yang bertuliskan Fixed
Boundaries Medan Area di berbagai sudut kota Medan.
Sejak
saat itulah Medan Area menjadi terkenal. Pasukan Inggris dan NICA
mengadakan pembersihan terhadap unsur Republik yang berada di kota
Medan. Hal ini jelas menimbulkan reaksi para pemuda dan TKR untuk
melawan kekuatan asing yang mencoba berkuasa kembali. Pada tanggal 10
Agustus 1946 di Tebingtinggi diadakan pertemuan antara komandan-komandan
pasukan yang berjuang di Medan Area. Pertemuan tersebut memutuskan
dibentuknya satu komando yang bernama Komando Resimen Laskar Rakyat
Medan Area.
Pada
tanggal 10 desember 1945, Sekutu dan NICA melancarkan serangan
besar-besaran terhadap kota Medan. Serangan ini menimbulkan banyak
koraban di kedua belah pihak. Pada bulan April 1946, Sekutu berhasil
menduduki kota Medan. Pusat perjuangan rakyat Medan kemudian dipindahkan
ke Pemantangsiantar.
Untuk
melanjutkan perjuangan di Medan maka pada bulan Agustus 1946 dibentuk
Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area. Komandan initerus mengadakan
serangan terhadap Sekutu diwilayah Medan. Hampir di seluruh wilayah
Sumatera terjadi perlawanan rakayat terhadap Jepang, Sekutu, dan
Belanda. Pertempuran itu terjadi, antara lian di Pandang, Bukit tinggi
dan Aceh.
E. Bandung Lautan Api
Peristiwa Bandung Lautan Api adalah peristiwa kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung, provinsi Jawa Barat, Indonesia pada 24 Maret 1946. Dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk Bandung[1] membakar rumah mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda untuk dapat menggunakan kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.
Pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945.
Sejak semula hubungan mereka dengan pemerintah RI sudah tegang. Mereka
menuntut agar semua senjata api yang ada di tangan penduduk, kecuali TKR
dan polisi,
diserahkan kepada mereka. Orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari
kamp tawanan mulai melakukan tindakan-tindakan yang mulai menganggu
keamanan. Akibatnya, bentrokan bersenjata antara Inggris dan TKR tidak
dapat dihindari. Malam tanggal 24 November 1945, TKR dan badan-badan perjuangan melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Homann dan Hotel Preanger
yang mereka gunakan sebagai markas. Tiga hari kemudian, MacDonald
menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar Bandung Utara
dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata.
Ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara Republik Indonesia (TRI, TNI kala itu) meninggalkan kota Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi "bumihangus". Para pejuang pihak Republik Indonesia tidak rela bila Kota Bandung dimanfaatkan oleh pihak Sekutu dan NICA. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, pada tanggal 24 Maret 1946[2]. Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III TRI mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan evakuasi Kota Bandung.[rujukan?]
Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang
meninggalkan kota Bandung dan malam itu pembakaran kota berlangsung.
Bandung
sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat setempat dengan maksud agar Sekutu
tidak dapat menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Di
mana-mana asap hitam mengepul membubung tinggi di udara dan semua
listrik mati. Tentara Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran
sengit terjadi. Pertempuran yang paling besar terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat gudang amunisi besar milik Tentara Sekutu. Dalam pertempuran ini Muhammad Toha dan Ramdan,
dua anggota milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia) terjun dalam misi
untuk menghancurkan gudang amunisi tersebut. Muhammad Toha berhasil
meledakkan gudang tersebut dengan dinamit.
Gudang besar itu meledak dan terbakar bersama kedua milisi tersebut di
dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal
di dalam kota, tetapi demi keselamatan mereka, maka pada pukul 21.00
itu juga ikut dalam rombongan yang mengevakuasi dari Bandung. Sejak saat
itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari
penduduk dan TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota, sehingga
Bandung pun menjadi lautan api.
Pembumihangusan Bandung tersebut dianggap merupakan strategi yang tepat dalam Perang Kemerdekaan Indonesia
karena kekuatan TRI dan milisi rakyat tidak sebanding dengan kekuatan
pihak Sekutu dan NICA yang berjumlah besar. Setelah peristiwa tersebut,
TRI bersama milisi rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar
Bandung. Peristiwa ini mengilhami lagu Halo, Halo Bandung yang nama penciptanya masih menjadi bahan perdebatan.
Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo, Halo Bandung"
secara resmi ditulis, menjadi kenangan akan emosi yang para pejuang
kemerdekaan Republik Indonesia alami saat itu, menunggu untuk kembali ke
kota tercinta mereka yang telah menjadi lautan api.
Latar belakang Bandung Lautan Api, antara lain :
a) Pasukan sekutu Inggris memasuki kota Bandung dan sikap pasukan NICA yang merajalela dengan aksi terornya.
b) Perundingan antara pihak RI dengan Sekutu/NICA, dimana Bandung dibagi dua bagian.
c) Bendungan sungai Cikapundung yang jebol dan menyebabkan banjir besar dalam kota.
d) Keinginan sektu yang menuntut pengosongan sejauh 11km dari Bandung Utara.
F. Pertempuran Margarana
Latar
belakang munculnya puputan Margarana atau pertempuran Margarana sendiri
bermula dari Perundingan Linggarjati. Pada tanggal 10 November 1946,
Belanda melakukan perundingan linggarjati dengan pemerintah Indonesia.
Salah satu isi dari perundingan Linggajati adalah Belanda mengakui
secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang
meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Selanjutnya Belanda diharuskan
sudah meninggalkan daerah de facto paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
Pada tanggal 2 dan 3 Maret 1949 Belanda mendaratkan pasukannya kurang
lebih 2000 tentara di Bali yang diikuti oleh tokoh-tokoh yang memihak
Belanda. Tujuan dari pendaratan Belanda ke Bali sendiri adalah untuk
menegakkan berdirinya Negara Indonesia Timur. Pada waktu itu Letnan
Kolonel I Gusti Ngurah Rai yang menjabat sebagai Komandan Resiman Nusa
Tenggara sedang pergi ke Yogyakarta untuk mengadakan konsultasi dengan
Markas tertinggi TRI, sehingga dia tidak mengetahui tentang pendaratan
Belanda tersebut.
Di
saat pasukan Belanda sudah berhasil mendarat di Bali, perkembangan
politik di pusat Pemerintahan Republik Indonesia kurang menguntungkan
akibat perundingan Linggajati, di mana pulau Bali tidak diakui sebagai
bagian wilayah Republik Indonesia. Pada umumnya Rakyat Bali sendiri
merasa kecewa terhadap isi perundingan tersebut karena mereka merasa
berhak masuk menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Terlebih lagi ketika Belanda berusaha membujuk Letnan Kolonel I
Gusti Ngurah Rai untuk diajak membentuk Negara Indonesia Timur. Untung
saja ajakan tersebut ditolak dengan tegas oleh I Gusti Ngurah Rai,
bahkan dijawab dengan perlawanan bersenjata Pada tanggal 18 November
1946. Pada saat itu I Gusti Ngurah Rai bersama pasukannya Ciung Wanara
Berhasil memperoleh kemenangan dalam penyerbuan ke tangsi NICA di
Tabanan. Karena geram, kemudian Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya
di Bali dan Lombok untuk menghadapi perlawanan I Gusti Ngurah Rai dan
Rakyat Bali. Selain merasa geram terhadap kekalahan pada pertempuran
pertama, ternyata pasukan Belanda juga kesal karena adanya konsolidasi
dan pemusatan pasukan Ngurah Rai yang ditempatkan di Desa Adeng,
Kecamatan Marga, Tabanan, Bali. Setelah berhasil mengumpulkan pasukannya
dari Bali dan Lombok, kemudian Belanda berusaha mencari pusat kedudukan
pasukan Ciung Wanara.
Pada
tanggal 20 November 1946 I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya (Ciung
Wanara), melakukan longmarch ke Gunung Agung, ujung timur Pulau Bali.
Tetapi tiba-tiba di tengah perjalanan, pasukan ini dicegat oleh serdadu
Belanda di Desa Marga, Tabanan, Bali.
Tak
pelak, pertempuran sengit pun tidak dapat diindahkan. Sehingga sontak
daerah Marga yang saat itu masih dikelilingi ladang jagung yang tenang,
berubah menjadi pertempuran yang menggemparkan dan mendebarkan bagi
warga sekitar. Bunyi letupan senjata tiba-tiba serentak mengepung ladang
jagung di daerah perbukitan yang terletak sekitar 40 kilometer dari
Denpasar itu.
Pasukan
pemuda Ciung Wanara yang saat itu masih belum siap dengan
persenjataannya, tidak terlalu terburu-buru menyerang serdadu Belanda.
Mereka masih berfokus dengan pertahanannya dan menunggu komando dari I
Gusti Ngoerah Rai untuk membalas serangan. Begitu tembakan tanda
menyerang diletuskan, puluhan pemuda menyeruak dari ladang jagung dan
membalas sergapan tentara Indische Civil Administration (NICA) bentukan
Belanda. Dengan senjata rampasan, akhirnya Ciung Wanara berhasil memukul
mundur serdadu Belanda.
Namun
ternyata pertempuran belum usai. Kali ini serdadu Belanda yang sudah
terpancing emosi berubah menjadi semakin brutal. Kali ini, bukan hanya
letupan senjata yang terdengar, namun NICA menggempur pasukan muda I
Gusti Ngoerah Rai ini dengan bom dari pesawat udara. Hamparan sawah dan
ladang jagung yang subur itu kini menjadi ladang pembantaian penuh asap
dan darah.
Perang
sampai habis atau puputan inilah yang kemudian mengakhiri hidup I Gusti
Ngurah Rai. Peristiwa inilah yang kemudian dicatat sebagai peristiwa
Puputan Margarana. Malam itu pada 20 November 1946 di Marga adalah
sejarah penting tonggak perjuangan rakyat di Indonesia melawan kolonial
Belanda demi Nusa dan Bangsa.
G. Pertempuran Laut Aru
Pertempuran Laut Aru adalah suatu pertempuran yang terjadi di Laut Aru, Maluku, pada tanggal 15 Januari 1962 antara Indonesia dan Belanda. Insiden ini terjadi sewaktu dua kapal jenis destroyer, pesawat jenis Neptune dan Frely milik Belanda menyerang RI Matjan Tutul (650), RI Matjan Kumbang (653) dan RI Harimau (654) milik Indonesia yang sedang berpatroli pada posisi 04,49° LS dan 135,02° BT. Komodor Yos Sudarso gugur pada pertempuran ini setelah menyerukan pesan terakhirnya yang terkenal, "Kobarkan semangat pertempuran".
Peristiwa
Aru bermula dari suatu operasi rahasia untuk menyusupkan sukarelawan
suku Irian yang telah dilatih oleh TNI-AD ke Irian Barat. Komando
Trikora memang sudah terbentuk, namun misi tersebut dilaksanakan bukan
dalam konteks operasi gabungan. Komando berdiri sendiri sebagai task
force dengan misi tertentu.
Hampir
semua kekuatan yang akan dilibatkan dalam Operasi Trikora belum siap.
Bahkan semua kekuatan udara masih stand by di Jawa. Namun ternyata
Angkatan Darat telah mendahului dengan melakukan penyusupan sukarelawan.
Untuk melaksanakan misi itu, AD minta bantuan ALRI untuk mengangkut
pasukan dari Jakarta menuju pantai Irian. Sedangkan AURI hanya diminta
mengerahkan dua pesawat Hercules untuk mengangkut pasukan dari Jakarta
menuju target yang nantinya ditentukan oleh ALRI.
Karena
misi itu sangat rahasia, di Mabes AURI hanya beberapa petinggi yang
mengetahui. Walaupun nyatanya tidak rumit, hanya mengangkut pasukan ke
sebuah pangkalan di dalam negeri dengan terbang rendah. Batas tugas AURI
hanya memindahkan pasukan dengan Hercules, selebihnya tidak menjadi
tanggung jawab Mabes AURI.
Pada
12 Januari 1962, pasukan berhasil didaratkan di Letfuan. Kedua Hercules
kembali ke pangkalan, dan AURI pun menjalankan tugas rutinnya. Namun
tanggal 18 Januari muncul situasi yang kurang mengenakkan, saat ada
pimpinan angkatan lain melapor ke Bung Karno bahwa tiadanya perlindungan
dari AURI telah menyebabkan sebuah operasi gagal. Sampai saat itu pihak
AURI belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Ternyata
pada 15 Januari telah terjadi kontak senjata antara armada ALRI dengan
AL Belanda di Laut Aru yang menyebabkan gugurnya Komodor Yos Sudarso dan
prajurit-prajurit ALRI lainnya. Kalau dikatakan AURI tidak melindungi
kapal beserta para prajurit ALRI, bukankah tugas AURI hanya mengangkut
pasukan dengan dua Hercules dalam operasi penyusupan ke Irian?
Tidak
ada kesalahan dalam peristiwa itu, namun AURI disalahkan. Padahal
mereka yang tahu rumitnya mengkoordinasikan operasi udara, apalagi
dengan pengeboman untuk melindungi kapal perang, pasti akan berpikir
seratus kali lipat untuk menudingkan kesalahan seperti itu. Tapi
begitulah. Orang yang tidak tahu, dan tidak mau tahu, telah menudingkan
kesalahan – dan pemegang kekuasaan tertinggi pun membenarkan.
Hari
H untuk pelaksanaan operasi penyusupan adalah Senin, 15 Januari 1962.
Pada H minus tiga (-3), semua kapal ALRI telah merapat di rendezvous
point di sebuah pulau di Kepulauan Aru. Pasukan yang sudah diturunkan
dari Hercules AURI juga sudah diangkut kapal dari Letfuan menuju pulau
tersebut. Pada hari pertama di titik itu, pesawat-pesawat Belanda sudah
datang mengintai. Hal yang sama terjadi pada H -2 dan H -1.
Hari
H pukul 17.00 waktu setempat, tiga kapal mulai bergerak. KRI Harimau
berada di depan, membawa antara lain Kol. Sudomo, Kol. Mursyid, dan
Kapten Tondomulyo. Di belakangnya adalah KRI Macan Tutul yang dinaiki
Komodor Yos Sudarso. Sedangkan di belakang adalah KRI Macan Kumbang.
Menjelang
pukul 21.00, Kol. Mursyid melihat radar blips pada lintasan depan yang
akan dilewati iringan tiga kapal itu. Dua di sebelah kanan dan satu di
kiri. Blips tersebut tidak bergerak, menandakan kapal-kapal sedang
berhenti. Ketiga KRI kemudian melaju. Tiba-tiba terdengar dengung
pesawat mendekat, lalu menjatuhkan flare yang tergantung pada parasut.
Keadaan tiba-tiba menjadi terang-benderang, dalam waktu cukup lama. Tiga
kapal Belanda yang berukuran lebih besar ternyata sudah menunggu
kedatangan ketiga KRI. Kapal Belanda melepaskan tembakan peringatan yang
jatuh di samping KRI Harimau. Kol. Sudomo memerintahkan untuk balas
menembak namun tidak mengenai sasaran. Komodor Yos Sudarso memerintahkan
ketiga KRI untuk kembali. Ketiga kapal pun serentak membelok 180o.
Naas, KRI Macan Tutul macet dan terus membelok ke kanan. Kapal-kapal
Belanda mengira manuver berputar itu untuk menyerang mereka. Sehingga
mereka langsung menembaki kapal itu. Tembakan pertama meleset, namun
tembakan kedua tepat mengenai KRI Macan Tutul. Menjelang tembakan telak
menghantam kapal, Komodor Yos Sudarso meneriakkan perintah, “Kobarkan
semangat pertempuran!”
AURI
berada dalam kondisi ditekan karena misi yang gagal itu. Orang mengira,
kekuatan AURI mampu melayang-layang selamanya di udara dan mengawasi
setiap jengkal wilayah RI. Negara superpower seperti AS pun tidak akan
bisa melakukannya di era itu, apalagi kita. Bagaimana pesawat terbang
melaksanakan misi bantuan serangan udara tanpa ada koordinasi
sebelumnya? Bahkan operasi itu sendiri tidak pernah dibicarakan dengan
pimpinan AURI. Namun saat gagal, kesalahan ditimpakan ke pihak AURI.
Untuk mengakhiri polemik, KSAU Suryadarma mengundurkan diri pada 19
Januari 1962. AURI pun berduka cita.
Hari
Sabtu, 20 Januari 1962, diadakan rapat di Istana Bogor yang dipimpin
oleh Bung Karno, untuk mengangkat Laksamana Muda Omar Dhani sebagai KSAU
yang baru. Setelah itu langsung diadakan brifing mengenai peristiwa
Aru. Kolonel Mursyid sebagai komandan tim juga sudah kembali untuk
memberikan paparan. Begitu paparan selesai, suasana di ruang rapat yang
terletak di sayap kiri Istana Bogor itu jadi mencekam, serius, sepi, dan
semua diam. Seakan-akan menikmati rasa kemenangan dan kepahlawanan. Yos
Sudarso gugur, operasi gagal, namun dinilai heroik.
Peristiwa
Aru kemudian berlalu begitu saja. Sampai saatnya nanti orang bisa
menilai, pengorbanan batin para pimpinan AURI di masa itu adalah wujud
nyata sikap tertinggi dalam disiplin prajurit, yaitu loyalitas.
H. Tindakan Heroik Di Yogyakarta
Pada
tanggal 26 September 1945 terjadi perebutan kekuasaan dan para pegawai
negeri semua mogok karena peristiwa ini. Sejak pukul 10.00, mereka mogok
bekerja dan memaksa Jepang untuk menyerahkan semua kantor Jepang ke
Indonesia. Diperkuat oleh pengumuman oleh KNI DI Yogyakarta pada 26
September 1945 bahwa kekuasaan di daerah itu sekarang berada di tangan
pemerintah RI. Kemudian terjadilah demo dan para pemuda berusaha untuk
merebut senjata dan peralatan perang, sedapat mungkin tanpa melalui
jalan kekerasan. Tapi karena usaha perundingan gagal, pada 1 Oktober
malam, para pemuda, BKR dan kepolisian menyerbu Tansi Otsuka Butai yang berada di kota baru. Malam itu juga Otsuka Butai menyerah setelah 18 orang pemuda polisi gugur.
Serangan Umum 1 Maret 1949 dilakukan terhadap kota Yogyakarta
secara secara besar-besaran yang direncanakan dan dipersiapkan oleh
jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan
mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat
berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman,
untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI - berarti juga
Republik Indonesia - masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian
dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang
berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan tujuan utama untuk mematahkan
moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai komandan brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.
I. Peristiwa 11 Nopember 1946 di Sulawesi Selatan
Pada
saat Belanda (Mayjend Van Mook) sedang mengadakan Konferensi Denpasar
dalam rangka pembentukan negara Indonesia Timur dan negara-negara boneka
lainnya, pada tanggal 11 Desember 1946 Belanda mengumumkan bahwa
Sulawesi berada dalam status darurat perang dan hukum militer (akibat
dari penolakan rakyat terhadap rencana (pembentukan Negara Indonesia
Timur). Rakyat Sulawesi Selatan yang diangap menolak atau tidak
setuju/menentang rencana tersebut dibantai habis oleh pasukan Belanda
pimpinan Raymond Westerling yang mengakibatkan lebih dari 40.000 jiwa
rakyat Sulawesi meninggal. Robert Wolter Monginsidi dan Andi Matalatta
yang memimpin pasukan untuk melawan kebiadaban Belanda akhirnya
tertangkap dan dijatuhi hukuman mati.
J. Tindakan Heroik Di Aceh
Di
Aceh terjadi sebuah pertempuran besar. Pertempuran tersebut terjadi
karena pembentukan Organisasi yang dibentuk oleh para pemuda pada
tanggal 6 oktober 1945 yang diberi nama Angkatan Pemuda Indonesia (API),
namun seminggu berdirinya organisasi tersebut kemudian jepang melarang
berdirinya Organisasi tersebut. Walaupun dipakasa untuk membubarkan API,
tapi para pemuda menolak dengan keras dan timbullah pertempuran. Para
pemuda melucuti senjata Jepang. Selain itu, para pemuda juga mengambil
alih kantor-kantor pemerintah Jepang dan mengibarkan bendera merah
putih.
K. Tindakan Heroik Di Palembang
Di
Palembang pada 8 Oktober 1945 Dr.A.K.Gani memimpin rakyat mengadakan
upacar pengibarab Bendera Merah-Putih. Perekutan kekuasaan di Plembnag
dilakukan tanpa Insiden. Pihak Jepang berusaha menghindari pertempuran.
L. Tindakan Heroik Di Kalimantan
Di
Kalimantan dukungan Proklamasi Kemerdekaan dilakukan dengan
berdemokrasi, pengibaran Bendera Merah-Putih dan mengadakan rapat-rapat.
Pada 14 November 1945 dengan beraninya sekitar 8000 orang berkumpul di
komplek NICA dengan mengarak Bendera Merah-Putih.
M. Peristiwa Merah Putih di Manado
Peristiwa
ini terjadi pada tanggal 14 februari 1946 di Manado. Para pemuda Manado
bersama laskar rakyat dari barisan pejuang melakukan perebutan
kekuasaan pemerintahan di Manado, Tomohon, dan Minahasa. Sekitar 600
orang pasukan dan pejabat Belanda berhasil ditahan.
Adapun
latar belakang dari peristiwa ini yaitu keinginan pemuda untuk merebut
kembali kekuasan di seluruh Manado yang berada di tangan Belanda.
N. Tindakan Heroik di Nusa Tenggara
Di
Nusa tenggara juga dilakukan usaha perebutan kekuasaan dari sekutu.
Rakyat tetap mengibarkan bendera merah putih dan memakai Lencana Merah.
O. Tindakan Heroik di Papua
Pada
tanggal 14 Maret 1948 para pemuda papua menyerang NICA dan Tangsi
Sorido. Namn serangan itu gagal dan dua orang pemimpinnya dibunuh dan
yang lainnya dipenjara seumur hidup.
P. Tindakan Heroik di Padang dan Bukit Tinggi
Di
padang dan bukit tinggi dibentuk balai penerangan pemuda indonesia dan
pemuda republik indonesia. Kedua organisasi pejuang iitu memelopori
pembentukan BKR dan komite nasional Indonesia.
Q. Tindakan Heroik di Surakarta
Terjadi pertempuran rakyat dengan Jepang di markas Kempeitai. Dalam pertempuran gugur pemuda Arifin.
R. Tindakan Heroik di pulau Sumbawa
Pada Bulan Desember 1945, para pemuda berusaha merebut senjata dari jepang dan bentrokan terjadi di Gempe dan di Sape.
S. Tindakan Heroik di Lampung
BKR dan para pemuda berhasil melucuti senjata Jepang di Teluk Betung, Kalianda dan Manggala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar